Selasa, 27 November 2012

Tulisan Bebas


MORAL BANGSA, DIDIDIKKAN...
Oleh :  Muhammad Zulvan
Mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Andalas

M
oral, suatu kata yang tidak asing lagi dalam pendengaran masyarakat. Kata moral  merupakan suatu kata yang seharusnya dapat dijelaskan secara bahasa dan dicontohkan melalui tindakan. Namun, tampaknya kata tersebut berubah kedudukannya dengan hanya menjadi sebuah kata yang mudah untuk diucapkan namun sulit ditemukan pengaplikasiannya.
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa latin yakni mos, moris, atau mores yang berarti adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan, tabiat, watak, atau akhlak (Lorens, 1996)[1]. Dagobert D. Runer menjelaskan bahwa istilah moral seringkali digunakan untuk merujuk pada aturan-aturan, tingkah laku, dan kebiasaan suatu individu atau kelompok. Dengan begitu istilah moral dapat diartikan sebagai kata yang menyatakan baik atau buruknya suatu perbuatan, sikap, mental, atau tingkah laku seorang manusia yang dilakukannya yang berdampak serta dapat dilihat dan dirasakan oleh manusia-manusia lain di sekitarnya sehingga manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia bermoral atau amoral. Istilah moral dapat pula disamakan pengertiannya dengan istilah akhlak atau budi pekerti.
Sangat disayangkan memang, Indonesia yang berada pada kondisi politik dan ekonomi yang sedang carut marut juga harus disibukkan untuk memikirkan masalah moral yang juga muncul ke permukaan sebagai masalah yang menyentuh semua kalangan mulai dari kalangan masyarakat awam hingga para elit politik yang memiliki kedudukan di pemerintahan. Sebut saja masalah geng motor, kerusuhan kaum pelajar, penganiayaan, pemerkosaan, pornografi, human trafficking, tindakan korupsi dan pemberian upeti yang dilakukan para elit politik, serta masih banyak lagi tindakan-tindakan tidak bermoral yang bisa disaksikan sendiri dengan mata awam. Akhirnya tidak salah apabila disebutkan bahwa negara kita saat ini sedang mengalami permasalahan multidimensi.
Menilik pendapat beberapa ahli dan pengamat sosial, pembentukan moral beriringan dengan perkembangan dan pertumbuhan manusia yakni mulai dari masa kecil, remaja, hingga memasuki usia dewasa. Proses pembentukan moral ini erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan dimana manusia tersebut tumbuh dan berkembang. Standar, ketetapan, kebiasaan, ataupun perilaku yang ada di lingkungan secara tidak langsung akan membentuk karakter dan pola pikir dari manusia tersebut. Pola pikir manusia  yang terbentuk tersebutlah yang akan menentukan moral atas semua tindakan manusia tersebut. Akhirnya bisa disimpulkan bila moral manusia bermasalah maka akan menghasilkan tindakan yang bermasalah. Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa permasalahan moral inilah yang menjadi pangkal permasalahan multidimensi yang terjadi di negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Untuk memudahkan pemahaman, katakanlah seorang anak yang masa kecilnya dihabiskan di lingkungan jalanan yang bergaul dengan para preman dan kriminil jalanan yang tabiatnya kasar dan semena-mena telah mendapatkan pendidikan bagaimana menjadi seorang preman secara gratis atau cuma-cuma. Semua tindakan yang dilihat, didengar, dan dialaminya secara tidak langsung direkamnya dalam otaknya yang masih segar dan haus akan informasi baru sebagai suatu standar dan kebiasaan yang wajar dan seharusnya dilakukan. Dengan begitu bukan tidak mungkin anak tersebut di masa dewasanya nanti juga akan bertindak sebagaimana preman atau kriminil, bahkan mereka bisa saja menjadi salah satu yang handal di zamannya. Hal ini tentu akan berbeda jadinya apabila anak tersebut dibesarkan dengan kasih sayang keluarga yang mengajarkan dan mengenalkan si anak pada apa itu agama, kasih sayang, rasa hormat, serta menghargai sesama. Di masa dewasanya nanti nilai-nilai yang sudah tertanam sejak awal akan selalu ada di dalam memori otaknya sehingga mempengaruhi pola pikir dan tindakannya nantinya.
“Kita adalah gambaran keluarga kita”, begitu kira-kira potongan kalimat yang terdapat pada salah satu film karya anak negeri yang menceritakan tentang perang terhadap korupsi. Tak dapat dielakkan ternyata peran keluarga memang menjadi faktor penting yang memberikan “modal awal” bagi penetapan standar pemikiran manusia terhadap nilai kebaikan atau keburukan. Yang mesti diperhatikan disini yaitu lingkup keluarga ini bukan hanya ayah atau dan atau ibu kandung dari si anak, namun juga orang-orang yang bertanggung jawab membesarkan si anak tadi. Keluarga sudah seharusnya mengenalkan anak-anak pada kebaikan, agama, kasih sayang, rasa hormat menghormati, serta saling menghargai dengan cara mencontohkannya dalam tindakan. Keluarga merupakan suri tauladan pertama yang dikenal anak.
Usia anak sudah seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan pengajaran dan pendidikan, baik secara formal maupun informal. Pendidikan formal dan informal memiliki peranan yang sama pentingnya dalam pembentukan standar moral seseorang. Pendidikan informal dapat diperoleh di semua tempat dan lingkungan dimana seseorang itu hidup dan bergaul. Pendidikan informal berlangsung seumur hidup manusia. Bahkan selama berada pada selang waktu menempuh pendidikan formal pun manusia selalu bergaul dan bersosialisasi dengan semua hal yang ada di luar dirinya. Melalui pergaulan dan sosialisasi tersebutlah manusia belajar. Hal ini menyebabkan pendidikan informal memiliki dampak yang relatif lebih besar dalam pembentukan dan penetapan standar moral seseorang.  
Pendidikan informal yang memiliki dampak besar pada pembentukan moral ternyata sulit untuk dikontrol. Sebagai contoh saja pendidikan informal ini dapat diperoleh melalui tontonan di televisi, bahan bacaan, internet, atau pun media-media social networking yang saat ini ramai berkembang. Memasuki era glabalisasi, teknologi, informasi, dan komunikasi saat ini pertukaran informasi terjadi secara cepat seperti sulit untuk dibendung. Informasi dan berita melimpah-limpah dan tercampur antara yang pantas dan tidak pantas untuk dibaca atau dilihat oleh kalangan umur tertentu, semua bebas untuk mengaksesnya. Maka, hal ini merupakan suatu contoh bahwa pendidikan informal sulit untuk dikontrol. Oleh karena itu peran keluarga dan pendidikan formal di sekolah diperlukan disini untuk membentuk pribadi-pribadi yang tahu akan batasan dan aturan tanpa perlu adanya pengawasan terhadap diri mereka.
Pendidikan formal adalah proses belajar mengajar yang diatur oleh pemerintah yang diterapkan dalam suatu sistem dan aturan tertentu seperti yang diperoleh selama di bangku sekolah atau perguruan tinggi. Di Indonesia pendidikan anak di bangku sekolah minimal sudah dimulai sejak anak berumur ± 6 tahun pada tingkatan Sekolah Dasar. Pendidikan pada tingkat SD rata-rata dijalankan selama 6 tahun. Kemudian pendidikan dilanjutkan ke bangku SMP selama 2-3 tahun. Lalu pendidikan dilanjutkan lagi selama 2-3 tahun pada tingkat SMK ataupun SMA. Setelah itu para generasi penerus bangsa tersebut dapat memilih apakah akan terjun ke dunia kerja atau melanjutkan pendidikan selama 4 tahun di perguruan tinggi. Dari uraian tersebut tampak bahwa rata-rata seorang anak didik secara formal selama ± 16 tahun. Ditambah lagi saat ini pendidikan anak kebanyakan sudah dimulai dari tingkat TK atau PAUD selama ± 2 tahun. Sehingga rata-rata selama 18 tahun anak-anak menjalani pendidikan formal. Waktu 18 tahun bukan merupakan waktu yang singkat.
Setelah kurang lebih selama 5 tahun seorang anak diberi “modal awal” mengenai moral dari orang tua dan keluarganya, institusi-institusi pendidikan kemudian diberi kepercayaan penuh oleh para orang tua sebagai pemegang peranan dalam pembentukan moral si anak. Melalui pendidikan formal inilah diharapkan pendidikan moral dimaksimalkan. Betapa tidak, selama ±18 tahun tersebut tubuh, mental, sikap, dan pemikiran seseorang juga akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Selama selang waktu tersebut karakter, mental, serta moral seorang manusia terbentuk. Berdasarkan hasil penelitian dikatakan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika ia berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua[2]. Hal ini menunjukkan usia manusia selama menempuh pendidikan formal merupakan usia dimana manusia banyak menyerap informasi di luar dirinya sebagai objek untuk belajar. Oleh sebab itu itu hendaknya pada selang waktu tersebut usaha pembentukan moral penting untuk dimaksimalkan. Hal ini relatif memungkinkan dibandingkan pendidikan informal yang sulit untuk dikontrol.
Melihat gambaran di atas dapat dikatakan pendidikan moral selama anak menjalani pendidikan formal penting untuk dilaksanakan. Namun, apabila diperhatikan dari pola pendidikan di negara kita saat ini pendidikan moral seperti menjadi dikebalakangkan. Sekolah-sekolah berlomba-lomba mengedepankan tujuan kognitif yang menitikberatkan pada kemampuan intelektual siswa didiknya. Moral dinomorduakan, bahkan diabaikan dan dianggap sebagai hal yang tidak terlalu diprioritaskan. Ada pelajaran agama atau pendidikan Kewarganegaraan namun masih bisa dilihat hasilnya, belum cukup memuaskan. Mungkin hal ini disebabkan karena guru dan peserta didik hanya memprioritaskan nilai yang tinggi dalam pelajaran tersebut tanpa diikuti dengan pelaksanaan dan perbaikan moral dan akhlak. Diabaikannya pendidikan moral ini terlihat pula di universitas. Bayangkan saja selama 4 tahun masa studi, pelajaran moral (agama dan Kewarganegaraan) hanya mendapat jatah masing-masing 3 sks. Itu pun selama 1 semester.
Metode di tersebut bisa saja berhasil menghasilkan generasi-generasi cerdas, intelek, maju, dan modern. Namun disisi lain generasi intelek tersebut kurang moralnya. Mereka hanya akan menjadi generasi-generasi yang tahu akan peraturan-peraturan namun tidak tahu  dan sadar akan aturan. Generasi-generasi intelek yang tidak bermoral tersebut hanya akan memperkaya diri mereka sendiri dengan segala upaya mereka dengan cara-cara anarkis, tidak jujur, bahkan hingga mengorbankan orang lain di sekitarnya. Ary Ginanjar (2011) mengatakan bahwa berbahayanya kalau seseorang yang cerdas, yang paham undang-undang tapi moralnya rusak. Manusia tersebut bahkan lebih berbahaya dari bom atom yang dapat menghancurkan sebuah kota. Pada akhirnya mereka hanya akan meregenerasi pelaku-pelaku amoral yang menyebabkan permasalahan multidimensi di negara kita tidak akan berakhir.
Mungkin itulah salah satu sebabnya mengapa dikatakan secara kasar, “apalah artinya sekolah tinggi, toh setelah selesai dari sana hanya akan menghancurkan bangsanya saja”. Suatu kalimat yang berkonotasi negatif, yang memandang pendidikan menjadi tidak penting karena output dari proses pendidikan tersebut bisa berlaku anarkis dan tidak bermoral. Coba perhatikan masalah merebaknya tawuran antar pelajar atau mahasiswa, pemerkosaan siswa oleh gurunya sendiri, perkelahian di rapat-rapat para wakil rakyat. Sungguh ironis. Padahal mereka semua adalah orang-orang intelek. Jadi, apa artinya generasi yang intelek tapi tidak bermoral.
Begitulah kira-kira betapa pentingnya mengutamakan pendidikan moral ini. Reformasi dalam bidang apapun harus dipandu oleh nilai-nilai moral yang menjadi tuntunan hidup bersama dalam masyarakat. Ini mengisyaratkan bahwa perubahan melalui reformasi dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, maupun bidang-bidang lain tidak akan dapat terselenggara tanpa perbaikan mental dan moral terlebih dahulu[3].
Merespon hal tersebut alternatif pelaksanaan pendidikan moral tersebut bisa dilaksanakan dengan mengoptimalkan pelajaran-pelajaran moral yang telah ada (misalnya pelajaran agama dan Pendidikan Kewarganegaraan) serta menginfiltrasi pelajaran-pelajaran lain sebagai media pengajaran moral. Pelajaran atau materi-materi yang ada yang semula hanya dititikberatkan pada penguasaan materi dalam kurikulum, menghafal isi dari buku teks atau undang-undang, ada baiknya kemudian ditambahkan dengan mengkaitkan materi yang ada tersebut dengan isu-isu segar di masyarakat saat ini. Hal yang juga perlu adanya penekanan kepada peserta didik bahwa semua yang  mereka pelajari tidak sebatas untuk diketahui saja tapi harus diaplikasikan dan ada pada diri mereka setelah mereka mengetahuinya. Dengan begitu diharapkan peserta didik menyadari bahwa materi yang ia pelajari tidak semata sebagai beban yang harus diingat dan dihafalkan sebelum menghadapi ulangan atau ujian untuk mendapatkan nilai baik, tapi mulai muncul pemikiran bahwa apa yang mereka pelajari saat ini merupakan bekal hidup mereka ketika mereka tidak anak-anak lagi, ketika mereka hidup sendiri sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarganya, orang-orang terdekat mereka, bangsa dan negara, serta sebagai individu yang bertanggung jawab atas perjanjiannya dengan penciptanya sebagai makhluk yang membaikan alam dan sesamanya. Nilai kejujuran itu lebih penting dari sekedar nilai rapor.
Komunikasi di luar waktu formal (di luar kelas) antara pendidik dan peserta didik juga merupakan hal yang diperlukan untuk membentuk suasana persahabatan dan kekeluargaan sehingga informasi yang penting pun dapat tersampaikan secara santai dan dirasa tidak memberatkan peserta didik. Diskusi-diskusi umum yang mendatangkan pembicara-pembicara luar atau alumni-alumni yang sudah berkecimpung di dunia luar dengan jumlah peserta yang sedikit (misalnya lingkup kelas, jurusan, laboratorium) perlu ditingkatkan. Materi yang diberikan pun  dipilihkan yang dapat memotivasi semua pihak, baik itu peserta didik maupun tenaga pendidik. Diharapkan dengan begitu wawasan menjadi terbuka dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru yang lebih positif semakin meningkat.
Mendidikan pendidikan moral dalam pendidikan formal penting untuk diutamakan. Jangan lagi hal tersebut dikesampingkan dan dijadikan prioritas “yang kesekian”. Pendidikan moral harus dijadikan target utama pendidikan. Coba kita ingat lagi makna pendidikan yang tercantum dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 1 ayat 1 berikut.
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Mendidikan pendidikan moral dalam pendidikan formal memang harus direalisasikan. Namun, bukan berarti bahwa masalah pendidikan moral hanya dibebankan sebagai kewajiban pemerintah atau institusi pendidikan. Pendidikan moral akan berjalan dengan baik apabila pendidikan formal di sekolah ditopang dan didukung dengan pendidikan informal diluar sekolah, baik itu di keluarga ataupun pergaulan di masyarakat. Dibutuhkan peran serta semua pihak untuk mengusahakannya. Sebaiknya kita selalu mengingat bahwa “kasih sayang itu dididikkan”[4]. Orang tua, pemerintah, institusi pendidikan, dan seluruh perangkat masyarakat memiliki kewajiban yang sama, yaitu mendidikan kasih sayang itu,  mendidikan Moral itu.
Sumber :
[1]   Aby Farhandi, Konsep Pendidikan Moral, artikel ini diakses pada tanggal 9 November 2012 dari http://abyfarhan7.blogspot.com/2011/12/konsep-moral-pendidikan.html
[2]   Wiwin Widyawati Rahayu, Pendidikan Karakter Melalui Dunia Baca, artikel ini diakses pada tanggal 9 November 2012 dari http://indonesiabuku.com/?p=11539
[3] Elly Retnaningrum, Pendidikan Moral Pilar Reformasi yang Terlupakan, artikel ini diakses pada tangga 9 November 2012 dari http://educare.e-fkipunla.net
[4]   Mario Teguh Golden Ways
Gambar diunduh dari http://blog.gurumandiri.com/wp-content/uploads/2012/02/anak-dan-orang-tua.jpg 

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Facebook More
Blogger Bertuah