MORAL BANGSA,
DIDIDIKKAN...
Oleh : Muhammad Zulvan
Mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Andalas
M
|
oral, suatu kata yang tidak
asing lagi dalam pendengaran masyarakat. Kata moral merupakan suatu kata yang seharusnya dapat dijelaskan
secara bahasa dan dicontohkan melalui tindakan. Namun, tampaknya kata tersebut
berubah kedudukannya dengan hanya menjadi sebuah kata yang mudah untuk
diucapkan namun sulit ditemukan pengaplikasiannya.
Secara etimologi istilah
moral berasal dari bahasa latin yakni mos,
moris, atau mores yang berarti
adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan, tabiat, watak, atau
akhlak (Lorens, 1996)[1].
Dagobert D. Runer menjelaskan bahwa istilah moral seringkali digunakan untuk
merujuk pada aturan-aturan, tingkah laku, dan kebiasaan suatu individu atau
kelompok. Dengan begitu istilah moral dapat diartikan sebagai kata yang menyatakan
baik atau buruknya suatu perbuatan, sikap, mental, atau tingkah laku seorang
manusia yang dilakukannya yang berdampak serta dapat dilihat dan dirasakan oleh
manusia-manusia lain di sekitarnya sehingga manusia tersebut dapat dikatakan
sebagai manusia bermoral atau amoral. Istilah moral dapat pula disamakan
pengertiannya dengan istilah akhlak atau budi pekerti.
Sangat disayangkan
memang, Indonesia yang berada pada kondisi politik dan ekonomi yang sedang
carut marut juga harus disibukkan untuk memikirkan masalah moral yang juga
muncul ke permukaan sebagai masalah yang menyentuh semua kalangan mulai dari
kalangan masyarakat awam hingga para elit politik yang memiliki kedudukan di
pemerintahan. Sebut saja masalah geng motor, kerusuhan kaum pelajar,
penganiayaan, pemerkosaan, pornografi, human
trafficking, tindakan korupsi dan pemberian upeti yang dilakukan para elit
politik, serta masih banyak lagi tindakan-tindakan tidak bermoral yang bisa
disaksikan sendiri dengan mata awam. Akhirnya tidak salah apabila disebutkan
bahwa negara kita saat ini sedang mengalami permasalahan multidimensi.
Menilik pendapat beberapa
ahli dan pengamat sosial, pembentukan moral beriringan dengan perkembangan dan
pertumbuhan manusia yakni mulai dari masa kecil, remaja, hingga memasuki usia
dewasa. Proses pembentukan moral ini erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan dimana
manusia tersebut tumbuh dan berkembang. Standar, ketetapan, kebiasaan, ataupun
perilaku yang ada di lingkungan secara tidak langsung akan membentuk karakter
dan pola pikir dari manusia tersebut. Pola pikir manusia yang terbentuk tersebutlah yang akan
menentukan moral atas semua tindakan manusia tersebut. Akhirnya bisa disimpulkan
bila moral manusia bermasalah maka akan menghasilkan tindakan yang bermasalah.
Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa permasalahan moral inilah yang
menjadi pangkal permasalahan multidimensi yang terjadi di negara-negara di
dunia, termasuk di Indonesia.
Untuk memudahkan
pemahaman, katakanlah seorang anak yang masa kecilnya dihabiskan di lingkungan
jalanan yang bergaul dengan para preman dan kriminil jalanan yang tabiatnya
kasar dan semena-mena telah mendapatkan pendidikan bagaimana menjadi seorang preman
secara gratis atau cuma-cuma. Semua tindakan yang dilihat, didengar, dan
dialaminya secara tidak langsung direkamnya dalam otaknya yang masih segar dan
haus akan informasi baru sebagai suatu standar dan kebiasaan yang wajar dan seharusnya
dilakukan. Dengan begitu bukan tidak mungkin anak tersebut di masa dewasanya
nanti juga akan bertindak sebagaimana preman atau kriminil, bahkan mereka bisa
saja menjadi salah satu yang handal di zamannya. Hal ini tentu akan berbeda
jadinya apabila anak tersebut dibesarkan dengan kasih sayang keluarga yang mengajarkan
dan mengenalkan si anak pada apa itu agama, kasih sayang, rasa hormat, serta
menghargai sesama. Di masa dewasanya nanti nilai-nilai yang sudah tertanam
sejak awal akan selalu ada di dalam memori otaknya sehingga mempengaruhi pola
pikir dan tindakannya nantinya.
“Kita adalah gambaran
keluarga kita”, begitu kira-kira potongan kalimat yang terdapat pada salah satu
film karya anak negeri yang menceritakan tentang perang terhadap korupsi. Tak
dapat dielakkan ternyata peran keluarga memang menjadi faktor penting yang
memberikan “modal awal” bagi penetapan standar pemikiran manusia terhadap nilai
kebaikan atau keburukan. Yang mesti diperhatikan disini yaitu lingkup keluarga
ini bukan hanya ayah atau dan atau ibu kandung dari si anak, namun juga
orang-orang yang bertanggung jawab membesarkan si anak tadi. Keluarga sudah
seharusnya mengenalkan anak-anak pada kebaikan, agama, kasih sayang, rasa
hormat menghormati, serta saling menghargai dengan cara mencontohkannya dalam
tindakan. Keluarga merupakan suri tauladan pertama yang dikenal anak.
Usia anak sudah
seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan pengajaran dan pendidikan, baik
secara formal maupun informal. Pendidikan formal dan informal memiliki peranan
yang sama pentingnya dalam pembentukan standar moral seseorang. Pendidikan
informal dapat diperoleh di semua tempat dan lingkungan dimana seseorang itu
hidup dan bergaul. Pendidikan informal berlangsung seumur hidup manusia. Bahkan
selama berada pada selang waktu menempuh pendidikan formal pun manusia selalu
bergaul dan bersosialisasi dengan semua hal yang ada di luar dirinya. Melalui
pergaulan dan sosialisasi tersebutlah manusia belajar. Hal ini menyebabkan
pendidikan informal memiliki dampak yang relatif lebih besar dalam pembentukan
dan penetapan standar moral seseorang.
Pendidikan informal yang
memiliki dampak besar pada pembentukan moral ternyata sulit untuk dikontrol.
Sebagai contoh saja pendidikan informal ini dapat diperoleh melalui tontonan di
televisi, bahan bacaan, internet, atau pun media-media social networking yang saat ini ramai berkembang. Memasuki era
glabalisasi, teknologi, informasi, dan komunikasi saat ini pertukaran informasi
terjadi secara cepat seperti sulit untuk dibendung. Informasi dan berita
melimpah-limpah dan tercampur antara yang pantas dan tidak pantas untuk dibaca
atau dilihat oleh kalangan umur tertentu, semua bebas untuk mengaksesnya. Maka,
hal ini merupakan suatu contoh bahwa pendidikan informal sulit untuk dikontrol.
Oleh karena itu peran keluarga dan pendidikan formal di sekolah diperlukan
disini untuk membentuk pribadi-pribadi yang tahu akan batasan dan aturan tanpa
perlu adanya pengawasan terhadap diri mereka.
Pendidikan formal adalah proses
belajar mengajar yang diatur oleh pemerintah yang diterapkan dalam suatu sistem
dan aturan tertentu seperti yang diperoleh selama di bangku sekolah atau perguruan
tinggi. Di Indonesia pendidikan anak di bangku sekolah minimal sudah dimulai
sejak anak berumur ± 6 tahun pada tingkatan Sekolah Dasar. Pendidikan pada
tingkat SD rata-rata dijalankan selama 6 tahun. Kemudian pendidikan dilanjutkan
ke bangku SMP selama 2-3 tahun. Lalu pendidikan dilanjutkan lagi selama 2-3
tahun pada tingkat SMK ataupun SMA. Setelah itu para generasi penerus bangsa
tersebut dapat memilih apakah akan terjun ke dunia kerja atau melanjutkan
pendidikan selama 4 tahun di perguruan tinggi. Dari uraian tersebut tampak
bahwa rata-rata seorang anak didik secara formal selama ± 16 tahun. Ditambah
lagi saat ini pendidikan anak kebanyakan sudah dimulai dari tingkat TK atau
PAUD selama ± 2 tahun. Sehingga rata-rata selama 18 tahun anak-anak menjalani
pendidikan formal. Waktu 18 tahun bukan merupakan waktu yang singkat.
Setelah kurang lebih
selama 5 tahun seorang anak diberi “modal awal” mengenai moral dari orang tua
dan keluarganya, institusi-institusi pendidikan kemudian diberi kepercayaan
penuh oleh para orang tua sebagai pemegang peranan dalam pembentukan moral si
anak. Melalui pendidikan formal inilah diharapkan pendidikan moral
dimaksimalkan. Betapa tidak, selama ±18 tahun tersebut tubuh, mental, sikap,
dan pemikiran seseorang juga akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Selama
selang waktu tersebut karakter, mental, serta moral seorang manusia terbentuk. Berdasarkan
hasil penelitian dikatakan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang
dewasa sudah terjadi ketika ia berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya
terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir
dasawarsa kedua[2]. Hal
ini menunjukkan usia manusia selama menempuh pendidikan formal merupakan usia
dimana manusia banyak menyerap informasi di luar dirinya sebagai objek untuk
belajar. Oleh sebab itu itu hendaknya pada selang waktu tersebut usaha
pembentukan moral penting untuk dimaksimalkan. Hal ini relatif memungkinkan
dibandingkan pendidikan informal yang sulit untuk dikontrol.
Melihat gambaran di atas
dapat dikatakan pendidikan moral selama anak menjalani pendidikan formal
penting untuk dilaksanakan. Namun, apabila diperhatikan dari pola pendidikan di
negara kita saat ini pendidikan moral seperti menjadi dikebalakangkan.
Sekolah-sekolah berlomba-lomba mengedepankan tujuan kognitif yang
menitikberatkan pada kemampuan intelektual siswa didiknya. Moral dinomorduakan,
bahkan diabaikan dan dianggap sebagai hal yang tidak terlalu diprioritaskan. Ada
pelajaran agama atau pendidikan Kewarganegaraan namun masih bisa dilihat
hasilnya, belum cukup memuaskan. Mungkin hal ini disebabkan karena guru dan
peserta didik hanya memprioritaskan nilai yang tinggi dalam pelajaran tersebut
tanpa diikuti dengan pelaksanaan dan perbaikan moral dan akhlak. Diabaikannya
pendidikan moral ini terlihat pula di universitas. Bayangkan saja selama 4
tahun masa studi, pelajaran moral (agama dan Kewarganegaraan) hanya mendapat
jatah masing-masing 3 sks. Itu pun selama 1 semester.
Metode di tersebut bisa
saja berhasil menghasilkan generasi-generasi cerdas, intelek, maju, dan modern.
Namun disisi lain generasi intelek tersebut kurang moralnya. Mereka hanya akan menjadi
generasi-generasi yang tahu akan peraturan-peraturan namun tidak tahu dan sadar akan aturan. Generasi-generasi
intelek yang tidak bermoral tersebut hanya akan memperkaya diri mereka sendiri
dengan segala upaya mereka dengan cara-cara anarkis, tidak jujur, bahkan hingga
mengorbankan orang lain di sekitarnya. Ary Ginanjar (2011) mengatakan bahwa
berbahayanya kalau seseorang yang cerdas, yang paham undang-undang tapi moralnya
rusak. Manusia tersebut bahkan lebih berbahaya dari bom atom yang dapat
menghancurkan sebuah kota. Pada akhirnya mereka hanya akan meregenerasi
pelaku-pelaku amoral yang menyebabkan permasalahan multidimensi di negara kita
tidak akan berakhir.
Mungkin itulah salah satu
sebabnya mengapa dikatakan secara kasar, “apalah artinya sekolah tinggi, toh setelah
selesai dari sana hanya akan menghancurkan bangsanya saja”. Suatu kalimat yang
berkonotasi negatif, yang memandang pendidikan menjadi tidak penting karena
output dari proses pendidikan tersebut bisa berlaku anarkis dan tidak bermoral.
Coba perhatikan masalah merebaknya tawuran antar pelajar atau mahasiswa,
pemerkosaan siswa oleh gurunya sendiri, perkelahian di rapat-rapat para wakil
rakyat. Sungguh ironis. Padahal mereka semua adalah orang-orang intelek. Jadi,
apa artinya generasi yang intelek tapi tidak bermoral.
Begitulah kira-kira
betapa pentingnya mengutamakan pendidikan moral ini. Reformasi dalam bidang
apapun harus dipandu oleh nilai-nilai moral yang menjadi tuntunan hidup bersama
dalam masyarakat. Ini mengisyaratkan bahwa perubahan melalui reformasi dalam
bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, maupun bidang-bidang lain
tidak akan dapat terselenggara tanpa perbaikan mental dan moral terlebih dahulu[3].
Merespon hal tersebut
alternatif pelaksanaan pendidikan moral tersebut bisa dilaksanakan dengan
mengoptimalkan pelajaran-pelajaran moral yang telah ada (misalnya pelajaran
agama dan Pendidikan Kewarganegaraan) serta menginfiltrasi pelajaran-pelajaran
lain sebagai media pengajaran moral. Pelajaran atau materi-materi yang ada yang
semula hanya dititikberatkan pada penguasaan materi dalam kurikulum, menghafal
isi dari buku teks atau undang-undang, ada baiknya kemudian ditambahkan dengan
mengkaitkan materi yang ada tersebut dengan isu-isu segar di masyarakat saat
ini. Hal yang juga perlu adanya penekanan kepada peserta didik bahwa semua
yang mereka pelajari tidak sebatas untuk
diketahui saja tapi harus diaplikasikan dan ada pada diri mereka setelah mereka
mengetahuinya. Dengan begitu diharapkan peserta didik menyadari bahwa materi
yang ia pelajari tidak semata sebagai beban yang harus diingat dan dihafalkan
sebelum menghadapi ulangan atau ujian untuk mendapatkan nilai baik, tapi mulai
muncul pemikiran bahwa apa yang mereka pelajari saat ini merupakan bekal hidup
mereka ketika mereka tidak anak-anak lagi, ketika mereka hidup sendiri sebagai
orang dewasa yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarganya,
orang-orang terdekat mereka, bangsa dan negara, serta sebagai individu yang
bertanggung jawab atas perjanjiannya dengan penciptanya sebagai makhluk yang
membaikan alam dan sesamanya. Nilai kejujuran itu lebih penting dari sekedar
nilai rapor.
Komunikasi di luar waktu
formal (di luar kelas) antara pendidik dan peserta didik juga merupakan hal
yang diperlukan untuk membentuk suasana persahabatan dan kekeluargaan sehingga
informasi yang penting pun dapat tersampaikan secara santai dan dirasa tidak
memberatkan peserta didik. Diskusi-diskusi umum yang mendatangkan
pembicara-pembicara luar atau alumni-alumni yang sudah berkecimpung di dunia
luar dengan jumlah peserta yang sedikit (misalnya lingkup kelas, jurusan,
laboratorium) perlu ditingkatkan. Materi yang diberikan pun dipilihkan yang dapat memotivasi semua pihak,
baik itu peserta didik maupun tenaga pendidik. Diharapkan dengan begitu wawasan
menjadi terbuka dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru yang lebih positif
semakin meningkat.
Mendidikan pendidikan moral dalam pendidikan formal penting
untuk diutamakan. Jangan lagi hal tersebut dikesampingkan dan dijadikan
prioritas “yang kesekian”. Pendidikan moral harus dijadikan target utama
pendidikan. Coba kita ingat lagi makna pendidikan yang tercantum dalam UU RI
Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 1 ayat 1 berikut.
“Pendidikan adalah usaha
sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.”
Mendidikan pendidikan
moral dalam pendidikan formal memang harus direalisasikan. Namun, bukan berarti
bahwa masalah pendidikan moral hanya dibebankan sebagai kewajiban pemerintah
atau institusi pendidikan. Pendidikan moral akan berjalan dengan baik apabila
pendidikan formal di sekolah ditopang dan didukung dengan pendidikan informal
diluar sekolah, baik itu di keluarga ataupun pergaulan di masyarakat. Dibutuhkan
peran serta semua pihak untuk mengusahakannya. Sebaiknya kita selalu mengingat bahwa
“kasih sayang itu dididikkan”[4].
Orang tua, pemerintah, institusi pendidikan, dan seluruh perangkat masyarakat
memiliki kewajiban yang sama, yaitu mendidikan kasih sayang itu, mendidikan Moral itu.
Sumber :
[1] Aby Farhandi, Konsep Pendidikan Moral,
artikel ini diakses pada tanggal 9 November 2012 dari http://abyfarhan7.blogspot.com/2011/12/konsep-moral-pendidikan.html
[2] Wiwin Widyawati Rahayu, Pendidikan
Karakter Melalui Dunia Baca, artikel ini diakses pada tanggal 9 November 2012
dari http://indonesiabuku.com/?p=11539
[3] Elly Retnaningrum, Pendidikan Moral Pilar Reformasi yang
Terlupakan, artikel ini diakses pada tangga 9 November 2012 dari http://educare.e-fkipunla.net
[4] Mario Teguh Golden Ways
Gambar diunduh dari http://blog.gurumandiri.com/wp-content/uploads/2012/02/anak-dan-orang-tua.jpg
0 komentar:
Posting Komentar