Menjaga Hidup Tetap Sehat dan Semangat

Dengan berolahraga metabolisme tubuh menjadi lancar sehingga distribusi dan penyerapan nutrisi dalam tubuh menjadi lebih efektif dan efisien.

HOME : a Film by Yann Arthus-Bertrand

JANGAN PIKIRKAN LAGI APA YANG SUDAH HILANG TAPI FOKUSLAH PADA APA YANG BISA KITA LAKUKAN SEKARANG.

Mengelola Air Limbah Kita

Kegiatan pengelolaan dan pengolahan air limbah merupakan suatu bentuk tindakan kebertanggungjawaban kita kepada alam. Manusia berhak untuk mengambil segala sesuatu dari alam dengan bijak dan menjaganya juga dengan bijak.

Mereduksi Sampah Organik

Komposter merupakan teknologi sederhana untuk mereduksi timbulan sampah di sumber.

Terima Kasih Guruku

Mereka orang-orang yang berbagi kebaikan itu telah hadir di dunia ini sebagai orang yang terhormat, di mata Tuhan dan di mata manusia

Jumat, 17 Mei 2013

Tulisan Bebas


ORANG-ORANG ITU.......

belajarlah dari kupu-kupu, meski sayapnya rapuh mampu membawa kehidupan,
belajarlah dari apel yang jatuh di samping bulan yang menggantung di langit tanpa tangkai itu, 
atau angin yang berhembus pelan lalu berubah menjadi badai yang memporakporandakan,

Seringkali manusia menghargai jasa orang lain dikaitkan dengan kebutuhannya yang sifatnya sangat sementara. Ketika dalam kondisi memerlukan, seseorang cenderung begitu merasakan peran-peran orang lain yang bisa mendukung keperluannya. Tapi bila waktu bergulir, dan kebutuhan itu sudah terlampaui, peran dan jasa itupun hilang bak debu diterpa angin. Seorang anak yang sudah berhasil, memandang orang tuanya hanya sebagai beban yang merepotkan dirinya, karena sudah tua dan tak berguna. Lalu dititipkan ke wisma jompo. Seorang murid yang sudah sukses, menilai guru-gurunya sebagai batu loncatan belaka yang nyaris terlupakan jasa-jasanya. Ia sudah melampaui fase kebutuhannya terhadap sang guru, lalu menganggap keberadaan para guru itu seperti tidak ada.
Dunia yang kecil ini ternyata sudah banyak membuat kita lalai. Kita seperti hidup di banyak dunia, dan dengan mudah kita bisa melupakan perjalanan yang telah kita lalui. Padahal kita tetap hidup di dunia yang sama, dalam fase kehidupan yang sama pula.
Demikianlah, ada seseorang yang kita sebut sebagai guru. Sosok itu, mungkin memang jadi manusia paling berperan dalam membentuk keilmuan kita. Karena dialah yang mengenalkan kita pada huruf-huruf, kemudian merangkainya menjadi kata, seterusnya menjadi kalimat, sampai kita bisa membaca dan mengetahu banyak hal di dunia ini. Di pula yang mengajarkan angka-angka, sehingga dapat mengerti berbagai rumus yang rumit. Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa, menjadi tahu dan bahkan lebih tahu dari mereka sendiri. Jasa guru menjadi tak terhingga. Bagi guru-guru tertentu, mereka justru tak ingin kerelaannya dicampurbaurkan dengan harapan dibalasnya jasa.
Seperti angin, jasa mereka datang diam-diam. Mereka memberikannya tanpa perhitungan. Bukan karena pertimbangan untung rugi. Siapapun mereka. Dimanapun mereka. Itu tak jadi soal. Karena tetesan-tetesannya akan berimbas dalam. Disadari atau tidak, dampaknya acapkali fenomenal. Sebenarnya mengenang mereka adalah kenikmatan. Sebenarnya peduli pada mereka adalah keindahan. Hanya saja, kita kerap menghapus nikmat dan indah itu.
Mereka orang-orang yang berbagi kebaikan itu telah hadir di dunia ini sebagai orang yang terhormat, di mata Allah dan di mata manusia. Maka kita pun harus pandai menaruh rasa hormat pada mereka serta menjaga kemuliaannya. Meskipun barangkali, kebaikan yang mereka berikan terasa kecil dan sederhana. Itulah tata krama yang merupakan bentuk balas jasa kita kepada mereka. Ad Dinawari berkata, “Tata krama seorang murid adalah menjaga kehormatan guru, menolong sesamanya, tidak mengeluarkan kata celaan, dan menjaga ajaran agamanya”.
Ali bin Abi Thalib r.a. pernah berkata, “Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap menjadi budaknya.” Ungkapan ini adalah sebuah cerminan bahwa Ali r.a. adalah lelaki yang pandai menghormati orang yang berjaasa padanya tanpa harus melihat seberapa besar kebaikan orang itu. Ia bahkan berani melakukan pengabdian seperti seorang budak yang bekerja untuk tuannya, meski orang itu hanya mengajarkan satu huruf saja.
Dalam sebuah kisah diceritakan bahwa imam Asy Syafi’i dalam perjalanan bersama sahabat-sahabatnya, bertemu seorang laki-laki tua. Tiba-tiba Asy Syafi’i mendekati orang tua itu lalu mencium tangannya. Sahabat-sahabatnya heran dan bertanya, ”Mengapa engkau mencium tangan orang tua itu, padahal masih banyak ulama yang lebih pantas kau cium tangannya daripada dia?”
Asy Syafi’i menjawab, “Dulu akau pernah bertanya kepadanya , bagaimana mengetahui seekor anjing telah mencapai usia baligh? Orang tua itu menjawab, “Jika kamu melihat anjing itu kencing dengan mengangkat sebelah kakinya, maka ia telah baligh.”
Hanya ilmu itu yang didapat Asy Syafi’i dari orang tua tersebut, tapi ia tidak pernah melupakan kebaikan itu. Hingga ia bertemu kembali dengannya, tapi Asy Syafi’i tetap mengingat dan menganggap orang tua itu sebagai gurunya, yang pantas ia hormati.
Orang-orang baik itu memang tidak pernah meminta kita mmenghormati mereka, tapi kitalah yang harus tahu diri untuk menghormati mereka. Karena itu biasakanlah selalu untuk memahami bahwa kesuksesan kita tidak mungkin ada tanpa peran mereka. Hal ini berguna untuk mengurangi rasa sombong di hati kita yang kerap muncul manakala kita merasa sudah punya kemampuan yang lebih dibandingkan orang lain.
Kita pun bisa membalas jasa dengan meneruskan kebaikan mereka kepada orang lain. Sebab ketika melakukan hal itu kepada kita, mereka tentu tidak berharap kebaikannya hanya dinikmati oleh kita sendiri. Mereka bisa jadi punya maksud lebih besar dan cita-cita lebih mulia. Mereka menumpahkan kebaikan itu karena berharap kita meneruskannya kepada generasi yang mungkin tidak bisa dijumpainya. Mereka ingin mewariskan kebaikannya melalui tangan kita. Maka ketahuilah, bahwa di pundak kita sebenarnya ada tanggung jawab yang harus kita tunaikan, yaitu menyambung kebaikan mereka.
Karenanya, seperti yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an, “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.” Setelah menerima kebaikan mereka, kitapun harus berpikir untuk melalukan hal yang sama, agar orang-orang itu mendapatkan pahala yang tidak terhenti pada kita saja, tetapi mereka terus mendapatkan ganjaran kebaikan dari orang-orang selain kita. Cara ini, bukan saja bisa membalas kebaikan dan menambah pundi amal mereka, tetapi kita juga akan mendapatkan balasan yang sama sebagai orang kedua.
Seperti yang disabdakan Nabi, “Barangsiapa menunjukkan sebuah kebaikan maka baginya pahala seperti pahala orang yang melakukannya”.
Mendoakan, memuliakan, berterima kasih dan meneruskan kebaikan mereka serta menjaga kehormatan mereka hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak cara yang bisa kita lakukan untuk membalas jasa orang-orang baik itu. Dan apapun cara yang kita pilih, pada intinya kita haruslah berusaha untuk membalas jasa-jasa itu. Lakukanlah. Karena hal itu adalah bagian dari bukti rasa syukur kita kepada Allah dan mereka atas setiap nikmat dan kebaikan yang kita terima. Rasulullah mengatakan, “Barangsiapa yang tidak pandai berterima kasih kepada manusia, sesungguhnya ia tak pandai bersyukur kepada Allah”.
Dan semoga rasa syukur yang coba kita buktikan itu menjadi sarana perekat yang dapat menyatukan kita dengan mereka, orang-orang baik itu, dalam sebuah ikatan ukhuwah yang kekal yang bisa mempertemukan kitakembali di alam yang tidak ada lagi pertemanan, kecuali pertemanan yang diikat dengan tali ketaqwaan. Akhirat. Kampung tempat segalanya berkesudahan. Mengakhiri jalan panjang kehidupan. Rumah penghabisan, tempat segala hiruk pikuk dunia ditimbang, lalu ditunaikan hak orang-orang yang punya hak. Serta diambilkan bayarannya kekurangan orang-orang yang berbuat curang. Nun disana. Kita akan bersua. Seperti air sungai yang mengalir berliku, kesana pula bermuara pada akhirnya. Itulah hakikat.

Sumber :
Tulisan : Sisyanto, Rudi. Hand-out Pelajaran Fisika SMA Negeri 8 Pekanbaru, Kelas I (2003), Kelas II (2004), dan Kelas III (2005 s.d. 2007)

Selasa, 27 November 2012

Tulisan Bebas


MORAL BANGSA, DIDIDIKKAN...
Oleh :  Muhammad Zulvan
Mahasiswa Jurusan Teknik Lingkungan Universitas Andalas

M
oral, suatu kata yang tidak asing lagi dalam pendengaran masyarakat. Kata moral  merupakan suatu kata yang seharusnya dapat dijelaskan secara bahasa dan dicontohkan melalui tindakan. Namun, tampaknya kata tersebut berubah kedudukannya dengan hanya menjadi sebuah kata yang mudah untuk diucapkan namun sulit ditemukan pengaplikasiannya.
Secara etimologi istilah moral berasal dari bahasa latin yakni mos, moris, atau mores yang berarti adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan, tabiat, watak, atau akhlak (Lorens, 1996)[1]. Dagobert D. Runer menjelaskan bahwa istilah moral seringkali digunakan untuk merujuk pada aturan-aturan, tingkah laku, dan kebiasaan suatu individu atau kelompok. Dengan begitu istilah moral dapat diartikan sebagai kata yang menyatakan baik atau buruknya suatu perbuatan, sikap, mental, atau tingkah laku seorang manusia yang dilakukannya yang berdampak serta dapat dilihat dan dirasakan oleh manusia-manusia lain di sekitarnya sehingga manusia tersebut dapat dikatakan sebagai manusia bermoral atau amoral. Istilah moral dapat pula disamakan pengertiannya dengan istilah akhlak atau budi pekerti.
Sangat disayangkan memang, Indonesia yang berada pada kondisi politik dan ekonomi yang sedang carut marut juga harus disibukkan untuk memikirkan masalah moral yang juga muncul ke permukaan sebagai masalah yang menyentuh semua kalangan mulai dari kalangan masyarakat awam hingga para elit politik yang memiliki kedudukan di pemerintahan. Sebut saja masalah geng motor, kerusuhan kaum pelajar, penganiayaan, pemerkosaan, pornografi, human trafficking, tindakan korupsi dan pemberian upeti yang dilakukan para elit politik, serta masih banyak lagi tindakan-tindakan tidak bermoral yang bisa disaksikan sendiri dengan mata awam. Akhirnya tidak salah apabila disebutkan bahwa negara kita saat ini sedang mengalami permasalahan multidimensi.
Menilik pendapat beberapa ahli dan pengamat sosial, pembentukan moral beriringan dengan perkembangan dan pertumbuhan manusia yakni mulai dari masa kecil, remaja, hingga memasuki usia dewasa. Proses pembentukan moral ini erat kaitannya dengan pengaruh lingkungan dimana manusia tersebut tumbuh dan berkembang. Standar, ketetapan, kebiasaan, ataupun perilaku yang ada di lingkungan secara tidak langsung akan membentuk karakter dan pola pikir dari manusia tersebut. Pola pikir manusia  yang terbentuk tersebutlah yang akan menentukan moral atas semua tindakan manusia tersebut. Akhirnya bisa disimpulkan bila moral manusia bermasalah maka akan menghasilkan tindakan yang bermasalah. Maka tidak berlebihan apabila dikatakan bahwa permasalahan moral inilah yang menjadi pangkal permasalahan multidimensi yang terjadi di negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia.
Untuk memudahkan pemahaman, katakanlah seorang anak yang masa kecilnya dihabiskan di lingkungan jalanan yang bergaul dengan para preman dan kriminil jalanan yang tabiatnya kasar dan semena-mena telah mendapatkan pendidikan bagaimana menjadi seorang preman secara gratis atau cuma-cuma. Semua tindakan yang dilihat, didengar, dan dialaminya secara tidak langsung direkamnya dalam otaknya yang masih segar dan haus akan informasi baru sebagai suatu standar dan kebiasaan yang wajar dan seharusnya dilakukan. Dengan begitu bukan tidak mungkin anak tersebut di masa dewasanya nanti juga akan bertindak sebagaimana preman atau kriminil, bahkan mereka bisa saja menjadi salah satu yang handal di zamannya. Hal ini tentu akan berbeda jadinya apabila anak tersebut dibesarkan dengan kasih sayang keluarga yang mengajarkan dan mengenalkan si anak pada apa itu agama, kasih sayang, rasa hormat, serta menghargai sesama. Di masa dewasanya nanti nilai-nilai yang sudah tertanam sejak awal akan selalu ada di dalam memori otaknya sehingga mempengaruhi pola pikir dan tindakannya nantinya.
“Kita adalah gambaran keluarga kita”, begitu kira-kira potongan kalimat yang terdapat pada salah satu film karya anak negeri yang menceritakan tentang perang terhadap korupsi. Tak dapat dielakkan ternyata peran keluarga memang menjadi faktor penting yang memberikan “modal awal” bagi penetapan standar pemikiran manusia terhadap nilai kebaikan atau keburukan. Yang mesti diperhatikan disini yaitu lingkup keluarga ini bukan hanya ayah atau dan atau ibu kandung dari si anak, namun juga orang-orang yang bertanggung jawab membesarkan si anak tadi. Keluarga sudah seharusnya mengenalkan anak-anak pada kebaikan, agama, kasih sayang, rasa hormat menghormati, serta saling menghargai dengan cara mencontohkannya dalam tindakan. Keluarga merupakan suri tauladan pertama yang dikenal anak.
Usia anak sudah seharusnya diisi dengan kegiatan-kegiatan pengajaran dan pendidikan, baik secara formal maupun informal. Pendidikan formal dan informal memiliki peranan yang sama pentingnya dalam pembentukan standar moral seseorang. Pendidikan informal dapat diperoleh di semua tempat dan lingkungan dimana seseorang itu hidup dan bergaul. Pendidikan informal berlangsung seumur hidup manusia. Bahkan selama berada pada selang waktu menempuh pendidikan formal pun manusia selalu bergaul dan bersosialisasi dengan semua hal yang ada di luar dirinya. Melalui pergaulan dan sosialisasi tersebutlah manusia belajar. Hal ini menyebabkan pendidikan informal memiliki dampak yang relatif lebih besar dalam pembentukan dan penetapan standar moral seseorang.  
Pendidikan informal yang memiliki dampak besar pada pembentukan moral ternyata sulit untuk dikontrol. Sebagai contoh saja pendidikan informal ini dapat diperoleh melalui tontonan di televisi, bahan bacaan, internet, atau pun media-media social networking yang saat ini ramai berkembang. Memasuki era glabalisasi, teknologi, informasi, dan komunikasi saat ini pertukaran informasi terjadi secara cepat seperti sulit untuk dibendung. Informasi dan berita melimpah-limpah dan tercampur antara yang pantas dan tidak pantas untuk dibaca atau dilihat oleh kalangan umur tertentu, semua bebas untuk mengaksesnya. Maka, hal ini merupakan suatu contoh bahwa pendidikan informal sulit untuk dikontrol. Oleh karena itu peran keluarga dan pendidikan formal di sekolah diperlukan disini untuk membentuk pribadi-pribadi yang tahu akan batasan dan aturan tanpa perlu adanya pengawasan terhadap diri mereka.
Pendidikan formal adalah proses belajar mengajar yang diatur oleh pemerintah yang diterapkan dalam suatu sistem dan aturan tertentu seperti yang diperoleh selama di bangku sekolah atau perguruan tinggi. Di Indonesia pendidikan anak di bangku sekolah minimal sudah dimulai sejak anak berumur ± 6 tahun pada tingkatan Sekolah Dasar. Pendidikan pada tingkat SD rata-rata dijalankan selama 6 tahun. Kemudian pendidikan dilanjutkan ke bangku SMP selama 2-3 tahun. Lalu pendidikan dilanjutkan lagi selama 2-3 tahun pada tingkat SMK ataupun SMA. Setelah itu para generasi penerus bangsa tersebut dapat memilih apakah akan terjun ke dunia kerja atau melanjutkan pendidikan selama 4 tahun di perguruan tinggi. Dari uraian tersebut tampak bahwa rata-rata seorang anak didik secara formal selama ± 16 tahun. Ditambah lagi saat ini pendidikan anak kebanyakan sudah dimulai dari tingkat TK atau PAUD selama ± 2 tahun. Sehingga rata-rata selama 18 tahun anak-anak menjalani pendidikan formal. Waktu 18 tahun bukan merupakan waktu yang singkat.
Setelah kurang lebih selama 5 tahun seorang anak diberi “modal awal” mengenai moral dari orang tua dan keluarganya, institusi-institusi pendidikan kemudian diberi kepercayaan penuh oleh para orang tua sebagai pemegang peranan dalam pembentukan moral si anak. Melalui pendidikan formal inilah diharapkan pendidikan moral dimaksimalkan. Betapa tidak, selama ±18 tahun tersebut tubuh, mental, sikap, dan pemikiran seseorang juga akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Selama selang waktu tersebut karakter, mental, serta moral seorang manusia terbentuk. Berdasarkan hasil penelitian dikatakan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika ia berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua[2]. Hal ini menunjukkan usia manusia selama menempuh pendidikan formal merupakan usia dimana manusia banyak menyerap informasi di luar dirinya sebagai objek untuk belajar. Oleh sebab itu itu hendaknya pada selang waktu tersebut usaha pembentukan moral penting untuk dimaksimalkan. Hal ini relatif memungkinkan dibandingkan pendidikan informal yang sulit untuk dikontrol.
Melihat gambaran di atas dapat dikatakan pendidikan moral selama anak menjalani pendidikan formal penting untuk dilaksanakan. Namun, apabila diperhatikan dari pola pendidikan di negara kita saat ini pendidikan moral seperti menjadi dikebalakangkan. Sekolah-sekolah berlomba-lomba mengedepankan tujuan kognitif yang menitikberatkan pada kemampuan intelektual siswa didiknya. Moral dinomorduakan, bahkan diabaikan dan dianggap sebagai hal yang tidak terlalu diprioritaskan. Ada pelajaran agama atau pendidikan Kewarganegaraan namun masih bisa dilihat hasilnya, belum cukup memuaskan. Mungkin hal ini disebabkan karena guru dan peserta didik hanya memprioritaskan nilai yang tinggi dalam pelajaran tersebut tanpa diikuti dengan pelaksanaan dan perbaikan moral dan akhlak. Diabaikannya pendidikan moral ini terlihat pula di universitas. Bayangkan saja selama 4 tahun masa studi, pelajaran moral (agama dan Kewarganegaraan) hanya mendapat jatah masing-masing 3 sks. Itu pun selama 1 semester.
Metode di tersebut bisa saja berhasil menghasilkan generasi-generasi cerdas, intelek, maju, dan modern. Namun disisi lain generasi intelek tersebut kurang moralnya. Mereka hanya akan menjadi generasi-generasi yang tahu akan peraturan-peraturan namun tidak tahu  dan sadar akan aturan. Generasi-generasi intelek yang tidak bermoral tersebut hanya akan memperkaya diri mereka sendiri dengan segala upaya mereka dengan cara-cara anarkis, tidak jujur, bahkan hingga mengorbankan orang lain di sekitarnya. Ary Ginanjar (2011) mengatakan bahwa berbahayanya kalau seseorang yang cerdas, yang paham undang-undang tapi moralnya rusak. Manusia tersebut bahkan lebih berbahaya dari bom atom yang dapat menghancurkan sebuah kota. Pada akhirnya mereka hanya akan meregenerasi pelaku-pelaku amoral yang menyebabkan permasalahan multidimensi di negara kita tidak akan berakhir.
Mungkin itulah salah satu sebabnya mengapa dikatakan secara kasar, “apalah artinya sekolah tinggi, toh setelah selesai dari sana hanya akan menghancurkan bangsanya saja”. Suatu kalimat yang berkonotasi negatif, yang memandang pendidikan menjadi tidak penting karena output dari proses pendidikan tersebut bisa berlaku anarkis dan tidak bermoral. Coba perhatikan masalah merebaknya tawuran antar pelajar atau mahasiswa, pemerkosaan siswa oleh gurunya sendiri, perkelahian di rapat-rapat para wakil rakyat. Sungguh ironis. Padahal mereka semua adalah orang-orang intelek. Jadi, apa artinya generasi yang intelek tapi tidak bermoral.
Begitulah kira-kira betapa pentingnya mengutamakan pendidikan moral ini. Reformasi dalam bidang apapun harus dipandu oleh nilai-nilai moral yang menjadi tuntunan hidup bersama dalam masyarakat. Ini mengisyaratkan bahwa perubahan melalui reformasi dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya, pendidikan, maupun bidang-bidang lain tidak akan dapat terselenggara tanpa perbaikan mental dan moral terlebih dahulu[3].
Merespon hal tersebut alternatif pelaksanaan pendidikan moral tersebut bisa dilaksanakan dengan mengoptimalkan pelajaran-pelajaran moral yang telah ada (misalnya pelajaran agama dan Pendidikan Kewarganegaraan) serta menginfiltrasi pelajaran-pelajaran lain sebagai media pengajaran moral. Pelajaran atau materi-materi yang ada yang semula hanya dititikberatkan pada penguasaan materi dalam kurikulum, menghafal isi dari buku teks atau undang-undang, ada baiknya kemudian ditambahkan dengan mengkaitkan materi yang ada tersebut dengan isu-isu segar di masyarakat saat ini. Hal yang juga perlu adanya penekanan kepada peserta didik bahwa semua yang  mereka pelajari tidak sebatas untuk diketahui saja tapi harus diaplikasikan dan ada pada diri mereka setelah mereka mengetahuinya. Dengan begitu diharapkan peserta didik menyadari bahwa materi yang ia pelajari tidak semata sebagai beban yang harus diingat dan dihafalkan sebelum menghadapi ulangan atau ujian untuk mendapatkan nilai baik, tapi mulai muncul pemikiran bahwa apa yang mereka pelajari saat ini merupakan bekal hidup mereka ketika mereka tidak anak-anak lagi, ketika mereka hidup sendiri sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri, keluarganya, orang-orang terdekat mereka, bangsa dan negara, serta sebagai individu yang bertanggung jawab atas perjanjiannya dengan penciptanya sebagai makhluk yang membaikan alam dan sesamanya. Nilai kejujuran itu lebih penting dari sekedar nilai rapor.
Komunikasi di luar waktu formal (di luar kelas) antara pendidik dan peserta didik juga merupakan hal yang diperlukan untuk membentuk suasana persahabatan dan kekeluargaan sehingga informasi yang penting pun dapat tersampaikan secara santai dan dirasa tidak memberatkan peserta didik. Diskusi-diskusi umum yang mendatangkan pembicara-pembicara luar atau alumni-alumni yang sudah berkecimpung di dunia luar dengan jumlah peserta yang sedikit (misalnya lingkup kelas, jurusan, laboratorium) perlu ditingkatkan. Materi yang diberikan pun  dipilihkan yang dapat memotivasi semua pihak, baik itu peserta didik maupun tenaga pendidik. Diharapkan dengan begitu wawasan menjadi terbuka dan keinginan untuk mencoba hal-hal baru yang lebih positif semakin meningkat.
Mendidikan pendidikan moral dalam pendidikan formal penting untuk diutamakan. Jangan lagi hal tersebut dikesampingkan dan dijadikan prioritas “yang kesekian”. Pendidikan moral harus dijadikan target utama pendidikan. Coba kita ingat lagi makna pendidikan yang tercantum dalam UU RI Nomor 20 tahun 2003 pada pasal 1 ayat 1 berikut.
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terncana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”
Mendidikan pendidikan moral dalam pendidikan formal memang harus direalisasikan. Namun, bukan berarti bahwa masalah pendidikan moral hanya dibebankan sebagai kewajiban pemerintah atau institusi pendidikan. Pendidikan moral akan berjalan dengan baik apabila pendidikan formal di sekolah ditopang dan didukung dengan pendidikan informal diluar sekolah, baik itu di keluarga ataupun pergaulan di masyarakat. Dibutuhkan peran serta semua pihak untuk mengusahakannya. Sebaiknya kita selalu mengingat bahwa “kasih sayang itu dididikkan”[4]. Orang tua, pemerintah, institusi pendidikan, dan seluruh perangkat masyarakat memiliki kewajiban yang sama, yaitu mendidikan kasih sayang itu,  mendidikan Moral itu.
Sumber :
[1]   Aby Farhandi, Konsep Pendidikan Moral, artikel ini diakses pada tanggal 9 November 2012 dari http://abyfarhan7.blogspot.com/2011/12/konsep-moral-pendidikan.html
[2]   Wiwin Widyawati Rahayu, Pendidikan Karakter Melalui Dunia Baca, artikel ini diakses pada tanggal 9 November 2012 dari http://indonesiabuku.com/?p=11539
[3] Elly Retnaningrum, Pendidikan Moral Pilar Reformasi yang Terlupakan, artikel ini diakses pada tangga 9 November 2012 dari http://educare.e-fkipunla.net
[4]   Mario Teguh Golden Ways
Gambar diunduh dari http://blog.gurumandiri.com/wp-content/uploads/2012/02/anak-dan-orang-tua.jpg 

Pengelolaan - Pengolahan Air Limbah


 AEROBIC PONDS ( Benefield and Randall, 1980 )
Kolam aerobik adalah sebuah kolam dangkal yang dapat ditembus cahaya hingga ke bagian dasarnya, hal tersebut menyebabkan proses fotosintesis dapat terjadi pada keseluruhan sistem di dalam kolam. Sepanjang siang hari, akibat adanya proses fotosintesis dan proses aerasi di permukaan oleh angin akan dihasilkan suplai oksigen dalam jumlah yang besar. Suplai tersebut akan digunakan sebagai sebagai persediaan selama malam hari. Proses stabilisasi materi organik yang masuk ke kolam aerobik dilakukan aktifitas penguraian yang dilakukan oleh bakteri aerob.
Pada kolam aerobik terjadi suatu bentuk hubungan yang saling menguntungkan antara alga dan bakteri. Selama proses fotosintesis, alga mensintesis materi organik yang berasal dari karbon dioksida, nutrien anorganik, dan air dengan memanfaatkan energi cahaya, lalu kemudian sitoplasma mengeksresikan campuran organik untuk digunakan oleh materi heterotrof. Pada proses ini hasilnya yaitu terlepaskannya elektron, proton, dan molekul-molekul oksigen. Bakteri heterotrof kemudian menguraikan materi organik yang terbentuk yang ada dalam air limbah untuk digunakan sebagai energi. Setelah digunakan material organik tersebut akan diuraikan kembali menjadi karbondioksida, air, dan bentuk materi anorganik lainnya yang akan digunakan kembali oleh alga. Begitulah seterusnya terbentuk suatu siklus dalam antara alga dan bakteri. Secara singkat dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Hubungan yang Terbentuk antara Alga dan Bakteri di Dalam Kolam Aerobik
A.     Variasi Perhari pada Kolam Aerobik
Proses fotosintesis membutuhkan radiasi sinar matahari. Oksigen akan dilepaskan selama selang waktu siang hari. Pada malam hari alga dan bakteri bersama-sama menggunakan oksigen terlarut dan zat-zat organik sehingga menurunkan sejumlah cadangan oksigen. Hal ini menunjukkan variasi konsentrasi oksigen dalam air, yaitu tinggi pada siang hari dan menurun pada malam hari.
Alga memanfaatkan karbon pada proses fotosistesi yang diperoleh dari hasil respirasi bakteri dalam bentuk karbon dioksida. Selama proses fotosistesis berlangsung nilai pH akan meningkat. Selama selang waktu ini sejumlah besar amoniak akan dilepas. Pada malam hari, ketika karbondioksida dihasilkan dari proses respirasi bakteri dan alga, nilai pH akan mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan hal yang sama seperti yang terjadi pada oksigen, yaitu nilai pH perhari juga bervariasi. Variasi harian parameter-parameter tersebut penting untuk diketahui karena salah satunya dapat mengganggu aktivitas mikroba.
Proses respirasi alga merupakan kejadian yang menarik dan merupakan suatu bentuk model proses yang rumit. Selama proses fotosintesis alga bertindak sebagai “pabrik” yang memproduksi zat organik dalam jumlah yang banyak ke lingkungan. Ketika proses tersebut terhenti, alga memetabolisme kembali zat yang ia eksresikan tadi memecahnya menjadi CO2. Kemudian, setelah memperoleh cahaya kembali maka akan tersedia CO2 sebagai salah satu bahan baku pada proses fotosintesis. Abeliovich dan Weismen (1977) menyatakan bahwa sekitar 15% karbon digunakan sebagai metabolisme glukosa oleh alga dan sebagian besar lainnya digunakan oleh Scenedesmus obliquus (bakteri) yang tumbuh/berkembang di dalam kolam oksidasi. Hal ini menunjukkan terdapat peranan alga dalam penyisihan zat organik namun hanya peranan tersebut hanya sebagian kecil.
B.     Hubungan-hubungan dalam Perancangan
Dikarenakan secara umum pengolahan yang terjadi adalah secara alami maka pengolahan dengan kolam aerobik tidak memiliki prosedur perancangan khusus. Walaupun begitu untuk mewujudkan tata laksana yang teratur maka dibuatlah prosedur tertentu. Metode empiris yang pertama kali dikembangkan oleh Oswald dan Gotaas (1957) yang memiliki pendekatan yang rasional. Mereka berasumsi bahwa isi kolam harus tercampur dan tidak ada proses pengendapan serta dikaitkan pula pada efisiensi penggunaan energi matahari pada permukaan kolam. Selanjutnya metode tersebut disimpulkan oleh Rich (1963) yang kemudian dijadikan dasar prosedur perancangan kolam aerobik.
Mengembangkan metode yang dikembangkan oleh Oswald dan Gotaas (1957) dan mengkombinasikannya dengan kesimpulan yang dikemukakan Rich (1963) disimpulkan bahwa kesetimbangan penggunaan dan produksi energi yang dilakukan alga dapat digambarkan melalui persamaan berikut.
                                                                                             (6-1)

Produksi oksigen dan pertumbuhan alga dapat digambarkan melalui persamaan berikut

                                                                                              (6-2)

Luas permukaan kolam dapat dihitung dengan mensubstitusikan nilai Wa pada persamaan 6-2 ke persamaan 6-1 sehingga,
                                                                                                (6-3)


Satuan pembakaran di dalam sel alga nilainya bervariasi tergantung dari komposisi sel yang dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan. Oswald dan Gotaas (1957) menyatakan kandungan panas sel alga dalam bentuk nilai R :
                                                                                  (6-4)

nilai R menyatakan derajat reduksi/penurunan bentuk material sel sebagai hail dari proses sintesis dan dapat diestimasikan dari persamaan berikut.

    
Jewell dan McCarty (1968) telah melaporkan nilai rata, maksimum, dan minimum dari elemen mayor yang terdapat di dalam tubuh alga. Nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam persen abu-berat kering, yaitu : karbon 53, 42,9, 70,2; hidrogen, 8, 6,0, 10,5; oksigen 8, 0,6, 16,0; dan fospor 2,0, 0,16, 5,0. Sebagai catatan, kondisi-kondisi pada saat masa pertumbuhan akan berpengaruh pada masing-masing nilai.
Faktor oksigenasi dipengaruhi oleh komposisi materi organik yang disintesis alga pada proses fotosintesis. Sebagai contohnya, Oswald dan Gotaas (1957) dari hasil penelitian mengasumsikan jika komposisi sel alga dalam kadar debu-berat kering terdiri dari 59,3% karbon, 5,24% hidrogen, 26,3% oksigen, dan 9,1% nitrogen. Masing-masing persen nilai dibagi dengan berat atom masing-masingnya sehingga,
Untuk mencegah fraksi dasar kecil dari 1, maka masing-masing fraksi dikalikan dengan 1,54 sehingga fraksi berat nitrogen menjadi 1.
Struktur sel menjadi C7,6H8,1O2,5N. Diasumsikan bahwa amoniak, air, dan karbon dioksida diubah menjadi oksigen, nitrogen, dan karbon pada proses fotosintesis. Secara umum, berikut merupakan reakasi yang terjadi pada proses fotosintesis (persamaan 6-6).
 

atau sebagai contoh yaitu (persamaan 6-7).
Dari persamaan diatas, oksigen yang dilepas per unit massa alga adalah (243,2/153,3) = 1,58. Oleh karena sel alga secara umum tersusun dari 85% material volatil dan 15% material tetap, maka dihperoleh TSS (terbasuk di dalamnya nilai abu) sebesar (1,58)(0,85) = 1,34. Untuk kondisi lingkungan secara umum, nilai p berada pada kisaran 1,25 – 1,75.
Faktor-faktor yang menentukan radiasi sinar matahari yang diterima permukaan kolam diantaranya adalah (1) faktor musim, (2) elevasi, (3) letak geografis, (4) kondisi meteorologi.
Sebagian kecil spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat dilihat disebut sebagai sinar tampak dan beberapa bagian dari sinar tampak tersebut merupakan sumber energi cahaya yang digunakan pada proses fotosintesis. Nilai energi spektrum gelombang elektromagnetik di beberapa belahan bumi bagian utara dapat dilihat pada Tabel 1.
Nilai tersebut merupakan nilai ideal, oleh karena itu diperlukan faktor koreksi untuk ketinggian dan cuaca.
Koreksi untuk Cuaca :
         (6-8)

Koreksi untuk Elevasi diatas 10.000 ft
         (6-9)

Pada persamaan e menyatakan elevasi diatas permukaan laut dalam ft dan r fraksi lamanya waktu cerah, yang diperoleh dari perbandingan lamanya siang yang tidak mendung dengan total waktu siang. Untuk beberapa tempat yang khusus, kemungkinan total waktu siang pada beberapa bulan dapat diketahui dari gambar 2. Catata yang dikeluarkan oleh Badan Iklim dan Cuaca dapat pula digunakan untuk memprediksi kejadian cerah atau tidak cerah pada bulan-bulan tertentu.
Ketika intensitas penyinaran lebih kecil daripada nilai kejenuhan (400 - 600 ft-candles untuk alga), maka tingkat fotosintesis akan disesuaikan dengan intensitas penyinaran tersebut. Titik jeniuh akan tetap hingga intensitas cahaya mencapai level inhibitor (pada beberapa tempat berada pada nilai 1000 dan 4000 ft-candles). Pada titik ini tingkat aktivitas fotosintesis akan semakin menurun. Sebagai ilustrasi dapat dilihat dari gambar 3. Oswald dan Gotaas (1957) mengusulkan apabila fraksi energi sinar tampak oswald dan gotaas (1957) mengusulkan bahwa fraksi energi dalam cahaya tampak yang digunakan dalam fotosintesis alga dapat dihitung dengan persamaan berikut.

Hubungan dalam persamaan 6-10 dapat dilihat pula pada grafik pada gambar 4. Hal ini perlu lebih dipahami karena penerapan persamaan 6-10 terbatas karena faktor berbagai faktor lingkungan lainnya. Rich (1963) melaporkan jika efisiensi konversi energi aktual, E, untuk kolam aerobik berada pada range 0,02 – 0,09 dengan rata-rata 0,04.
Tabel 1 Radiasi Sinar Matahari terhadap Permukaan Horizontal pada Permukaan Laut dalam Langleys/hari

Tabel 1 (Sambungan)


Gambar 2. Persen Rata-rata Waktu Total Penyinaran Matahari pada Garis Lintang
(Oswald dan Gotaas, 1957)
Untuk mengefektifkan proses pengolahan dengan kolam aerobik, harus terdapat sejumlah oksigen yang setara dengan kebutuhan oksigen untuk metabolisme. Oleh karena itu Wo2 dapat disetarakan dengan nilai BOD yang terurai per unit waktu.
Dengan formula empiris yang diusulkan oleh Oswald (1963), Roesler dan Preul (1970) yang telah dikembangkan berdasarkan penyisihan BOD di dalam kolam aerobik :


Gambar 3. Hubungan Fotosintesis Relatif dari Permukaan Hingga ke Dasar (Bartsch, 1961)
Untuk pengaplikasian persamaan 6-11 dalam perancangan penting untuk menentukan nilai Io. Oswald dan Gotaas ( (1957) menyarankan prosedur berikut untuk menghitung nilai Io tersebut.
1)      pilih nilai (SR)max dan (SR)min yang tepat sesuai dengan total radiasi matahari pada tabel 1.
2)      Koreksi nilai total radiasi pada melihat faktor cuaca dan elevasinya dengan menggunakan persamaan 6-8 dan 6-9.
3)      Kalikan nilai yang telah dikoreksi tadi dengan 10.
4)      Kalikan nilai yang diperoleh pada langkah 3 dengan fraksi waktu penyinaran dari gambar 2. Nilai yang diperoleh merupakan nilai Io dalam ft-candles.



Gambar 4. Pengaruh Intensitas Kejenuhan pada Tingkat Penggunaan Cahaya oleh Alga (Oswald dan Gotaas, 1957)
C.      Pertimbangan-pertimbangan dalam Perancangan
Kriteria perancangan tipikal dari kolam aerobik dapat dilihat pada tabel 2. Kedalaman yang disarankan untuk kolam aerobik adalah 0,5-1,5 ft (kedalaman dangkal), tujuannya adalah agar keseluruhan kolam dapat ditembus oleh cahaya sehingga produksi alga dapat terjadi secara maksimal. Namun disisi lain kolam yang dangkal memiliki beberapa permasalahan. Nusbaum (1957) melaporkan bahwa terdapat beberapa masalah dalam operasional kolam aerobik dangkal, diantaranya adalah.
Tabel 2 Kriteria Perancangan untuk Kolam Aerobik

1)      Vegetasi pengganggu : pada kedalaman kurang dari 3 ft vegetasi air dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu pada kedalaman tersebut genangan air juga dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
2)      Permasalahan temperatur : pada beberapa area di beberapa negara, temperatur kolam akan meningkat terutama pada musim panas. Tidak sesuainya suhu kolam akan menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan alga di dalam kolam.
3)      Retensi oksigen : pada saat produksi oksigen meningkat akan tercipta kondisi super saturasi (lewat jenuh). Pada kondisi ini kolam yang memeiliki kedalaman yang relatif dalam lebih disarankan.
4)      Pembebanan tiba-tiba : kolam yang memiliki kedalaman relatif lebih dalam akan memiliki volume yang lebih besar dan area dispersi yang lebih luas dibandingkan kolam dangkal.
Untuk memperoleh perfoma yang terbaik, muatan kolam harus diaduk atau dicampurkan setiap periode tertentu. Hal ini untuk mencegah stratifikasi suhu di dalam kolam. Apabila tidak dilakukan adanya proses pengadukan pada kolam temperatur permukaan akan lebih tinggi dibandingkan temperatur dasar kolam. Kemudian massa jenis juga akan terpengaruh. Masa jenis akan menurun seiring meningkatnya suhu air. Hal ini akan menyebabkan alga yang bersifat nonmotile (yang tidak dapat berpindah) akan mengendap pada kedalaman tertentu di bawah permukaan kolam. Selanjutnya alga yang bersifat motile (dapat berpindah) akan bergerak menjauhi suhu yang tinggi (permukaan kolam) dan membentuk suatu lapisan pada kedalaman tertentu yang lebih dalam. Lapisan alga yang semakin rapat ini akan menghalangi cahaya yang akan masuk ke dalam kolam sehingga mengurangi fotik zone (zona cahaya). Akibatnya, oksigen dan penguraian zat organik akan menurun. Angin menjadi faktor yang paling penting yang memungkinkan terjadinya proses pengadukan pada kolam. Oleh karena itu, Eckenfelder (1970) menyarankan lebar kolam sebaiknya berada pada kisaran nilai 650 ft apabila kedalaman kolam sebesar 3 ft.
Apabila pada pengolahan tidak terdapat pengolahan primer atau pengolahan pendahuluan, maka menyebabkan sejumlah padatan akan mengendap pada dasar kolam membentuk lapisan lumpur. Pada kolam yang memiliki kedalaman yang lebih dalam umumnya akan menyebabkan terjadinya fermentasi metan yang akan mencegah terjadinya kelebihan lumpur. Namun, penumpukan lumpur merupakan masalah di kolam aerobik karena organisme metanogen yang bersifat anaerob biasanya tidak mampu berkembang sampai batas yang signifikan. Sebenarnya apabila dilakukan pengolahan primer tetap akan menyebabkan terjadinya penumpukan lumpur, namun relatif lebih lambat dibandingkan apabila tanpa pengolahan primer.
Oswald dan Gotaas (1957) mengisyaratkan bahwa proses resirkulasi di dalam kolam aerobik perlu untuk dilakukan, hal ini agar proses seeding alga/perkembanggan alga dapat berlangsung cepat di dalam effluen baru yang akan diolah. Hal ini juga dapat meningkatkan konsentrasi DO pada air limbah yang akan diolah. Nusbaum (1957) menyarankan rasio resirkulasi minimum ketika efluen primer akan diolah yaitu sebesar 0,5.
Metcalf dan Eddy (1972) menyarankan agar kolam aerobik untuk kebutuhan individual luas permukaan diperkecil kecil dari 10 ha dengan tujuan untuk memperkecil putaran arus pendek yang terjadi akibat angin. Untuk perancangan apabila dibutuhkan luas permukaan yang lebih besar daripada 10 ha dilakukan dengan pembuatan kolam dengan sistem paralel dimana luas masing-masing kolam kecil dari 10 ha.
Secara tipikal, kolam aerobik memiliki rasio panjang dan lebar 2-3 : 1 (Mara, 1976). Tanggul-tangkul pada kolam akan dibuat dengan kemiringan maksimum dan minimum masing-masing 3 : 1 dan 6 : 1, perhatikan gambar 5 berikut (dimana n = 3 untuk kemiringan maksimum dan n = 6 untuk kemiringan minimum). Ini merupakan prosedur umum yang digunakan untuk perancangan area kolam dengan kedalaman sedang.
Gambar 5. Potongan Melintang Kolam Aerobik (Mara, 1976)
Kondisi iklim merupakan pertimbangan utama yang mesti diperhatikan dalam perancangan kolam. Pada area yang memiliki kondisi beku pada periode musim dingin volume diisyaratkan cukup untuk menyimpan laju aliran total selama periode ini. Di beberapa area, kolam dapat berfungsi hanya pada musim panas dan umumnya materi biologi akan memasuki masa dormansi pada musim dingin. Menurut Oswald (1972), kolam hanya dapat digunakan terbatas pada area yang memperoleh radiasi matahari sebesar 100 cal/cm2/day 90% sepanjang tahun dan tidak terdapat masa beku dalam waktu yang cukup lama. Sebagai contohnya yaitu 40% daerah di Amerika Utara. Gambar 6 dapat digunakan untuk menentukan beberapa tempat di Amerika Serikat yang memiliki kondisi yang sesuai untuk menera;pkan kolam aerobik.

Gambar 6. Kondisi Iklim di Beberapa Daerah di Amerika Serikat (Dildane dan Franzmathes, 1970)
Kolam aerobik dirancang untuk memaksimalkan produksi alga, hal ini menyebabkan konsentrasi alga pada efluen setiap kolam akan tinggi. Sebagai aplikasi dari pengolahan sekunder, nilai tersebut harus dibatasi, yaitu 30 mg/L untuk tangki pengendapan sekunder atau memiliki nilai BOD­5 dan Suspended Solids rata-rata yang rendah setiap pengukuran perbulan (85% removal) dan 45 mg/L atau memiliki BOD5 dan suspended solid yang rendah pada setiap pengukuran per 7 hari. Setiap kolam biasanya tidak mampu memenuhi kritesia suspended solid karena kandungan alga tersebut. Konsekuensinya, pengolahan dengan kolam ini sebaiknya dilengkapi pula dengan pengolahan tambahan untuk menyisihkan kandungan alga yang membutuhkan biaya tambahan dan skill khusus dalam operasionalnya.
Contoh 1
Setelah pengolahan laju aliran limbah cair memiliki nilai 1 MGD. Air tersebut merupakan air limbah yang berasal dari sebuah kawasan permukiman kecil di dekat New Orleans, Louisiana (ketinggian 50 ft). Dari pengolahan primer tadi diharapkan limbah memiliki nilai  BOD 200 mg/L. Berapa dimensi kolam yang harus dirancang untuk menyisihkan 90% BOD jika kriteria perancangan adalah pada Desember (waktu tertutup awan 50%, suhu rata-rata 45o F)?
Solusi :

Kedalaman kolam memiliki hubungan yang terbalik dengan kemampuan pengolahannya. Untuk mengolah air limbah yang pekat dibutuhkan pertumbuhan alga yang baik sehingga sebaiknya diolah pada kolam yang relatif dangkal, namun sebaliknya air limbah yang tidak terlalu pekat sebaiknya diolah pada kolam yang memiliki kedalaman relatif lebih besar.
Gambar 7. Hubungan Kedalaman Aerobic Zone dengan BODu loading  (Oswald, 1968)
Hubungan antara kolam aerobik dan BODu loading (lb/ha.day) pada musim gugur digambarkan pada gambar 7. Kurva tersebut digunakan untuk mencek hasil perhitungan kedalaman untuk memastikan kolam dapat bekerja. Kurva ini memperlihatkan pada saat musim dingin kedalaman relatif lebih dangkat dibandingkan pada musim gugur, sedang pada musim panas kedalaman menjadi lebih besar.[MN]

SUMBER : Benefield, Larry D. , and Randall Clifford D . 1980 . Biological Process Design for Wastewater Treatment .  United States of America : Prentice-Hall, Inc .

Share

Twitter Facebook More
Blogger Bertuah