ORANG-ORANG
ITU.......
belajarlah
dari kupu-kupu, meski sayapnya rapuh mampu membawa kehidupan,
belajarlah
dari apel yang jatuh di samping bulan yang menggantung di langit tanpa tangkai
itu,
atau angin yang berhembus pelan
lalu berubah menjadi badai yang memporakporandakan,
Seringkali manusia menghargai jasa
orang lain dikaitkan dengan kebutuhannya yang sifatnya sangat sementara. Ketika
dalam kondisi memerlukan, seseorang cenderung begitu merasakan peran-peran
orang lain yang bisa mendukung keperluannya. Tapi bila waktu bergulir, dan
kebutuhan itu sudah terlampaui, peran dan jasa itupun hilang bak debu diterpa
angin. Seorang anak yang sudah berhasil, memandang orang tuanya hanya sebagai
beban yang merepotkan dirinya, karena sudah tua dan tak berguna. Lalu dititipkan
ke wisma jompo. Seorang murid yang sudah sukses, menilai guru-gurunya sebagai
batu loncatan belaka yang nyaris terlupakan jasa-jasanya. Ia sudah melampaui
fase kebutuhannya terhadap sang guru, lalu menganggap keberadaan para guru itu
seperti tidak ada.
Dunia yang kecil ini ternyata sudah
banyak membuat kita lalai. Kita seperti hidup di banyak dunia, dan dengan mudah
kita bisa melupakan perjalanan yang telah kita lalui. Padahal kita tetap hidup
di dunia yang sama, dalam fase kehidupan yang sama pula.
Demikianlah, ada seseorang yang
kita sebut sebagai guru. Sosok itu, mungkin memang jadi manusia paling berperan
dalam membentuk keilmuan kita. Karena dialah yang mengenalkan kita pada
huruf-huruf, kemudian merangkainya menjadi kata, seterusnya menjadi kalimat,
sampai kita bisa membaca dan mengetahu banyak hal di dunia ini. Di pula yang
mengajarkan angka-angka, sehingga dapat mengerti berbagai rumus yang rumit.
Kita yang tadinya tidak tahu apa-apa, menjadi tahu dan bahkan lebih tahu dari
mereka sendiri. Jasa guru menjadi tak terhingga. Bagi guru-guru tertentu,
mereka justru tak ingin kerelaannya dicampurbaurkan dengan harapan dibalasnya
jasa.
Seperti angin, jasa mereka datang
diam-diam. Mereka memberikannya tanpa perhitungan. Bukan karena pertimbangan
untung rugi. Siapapun mereka. Dimanapun mereka. Itu tak jadi soal. Karena
tetesan-tetesannya akan berimbas dalam. Disadari atau tidak, dampaknya acapkali
fenomenal. Sebenarnya mengenang mereka adalah kenikmatan. Sebenarnya peduli
pada mereka adalah keindahan. Hanya saja, kita kerap menghapus nikmat dan indah
itu.
Mereka orang-orang yang berbagi
kebaikan itu telah hadir di dunia ini sebagai orang yang terhormat, di mata
Allah dan di mata manusia. Maka kita pun harus pandai menaruh rasa hormat pada
mereka serta menjaga kemuliaannya. Meskipun barangkali, kebaikan yang mereka
berikan terasa kecil dan sederhana. Itulah tata krama yang merupakan bentuk
balas jasa kita kepada mereka. Ad Dinawari berkata, “Tata krama seorang murid
adalah menjaga kehormatan guru, menolong sesamanya, tidak mengeluarkan kata
celaan, dan menjaga ajaran agamanya”.
Ali bin Abi Thalib r.a. pernah
berkata, “Siapa yang pernah mengajarkan aku satu huruf saja, maka aku siap
menjadi budaknya.” Ungkapan ini adalah sebuah cerminan bahwa Ali r.a. adalah
lelaki yang pandai menghormati orang yang berjaasa padanya tanpa harus melihat
seberapa besar kebaikan orang itu. Ia bahkan berani melakukan pengabdian
seperti seorang budak yang bekerja untuk tuannya, meski orang itu hanya
mengajarkan satu huruf saja.
Dalam sebuah kisah diceritakan
bahwa imam Asy Syafi’i dalam perjalanan bersama sahabat-sahabatnya, bertemu
seorang laki-laki tua. Tiba-tiba Asy Syafi’i mendekati orang tua itu lalu
mencium tangannya. Sahabat-sahabatnya heran dan bertanya, ”Mengapa engkau mencium
tangan orang tua itu, padahal masih banyak ulama yang lebih pantas kau cium
tangannya daripada dia?”
Asy Syafi’i menjawab, “Dulu akau
pernah bertanya kepadanya , bagaimana mengetahui seekor anjing telah mencapai
usia baligh? Orang tua itu menjawab, “Jika kamu melihat anjing itu kencing
dengan mengangkat sebelah kakinya, maka ia telah baligh.”
Hanya ilmu itu yang didapat Asy
Syafi’i dari orang tua tersebut, tapi ia tidak pernah melupakan kebaikan itu.
Hingga ia bertemu kembali dengannya, tapi Asy Syafi’i tetap mengingat dan
menganggap orang tua itu sebagai gurunya, yang pantas ia hormati.
Orang-orang baik itu memang tidak
pernah meminta kita mmenghormati mereka, tapi kitalah yang harus tahu diri
untuk menghormati mereka. Karena itu biasakanlah selalu untuk memahami bahwa
kesuksesan kita tidak mungkin ada tanpa peran mereka. Hal ini berguna untuk
mengurangi rasa sombong di hati kita yang kerap muncul manakala kita merasa
sudah punya kemampuan yang lebih dibandingkan orang lain.
Kita pun bisa membalas jasa dengan
meneruskan kebaikan mereka kepada orang lain. Sebab ketika melakukan hal itu
kepada kita, mereka tentu tidak berharap kebaikannya hanya dinikmati oleh kita
sendiri. Mereka bisa jadi punya maksud lebih besar dan cita-cita lebih mulia.
Mereka menumpahkan kebaikan itu karena berharap kita meneruskannya kepada
generasi yang mungkin tidak bisa dijumpainya. Mereka ingin mewariskan
kebaikannya melalui tangan kita. Maka ketahuilah, bahwa di pundak kita
sebenarnya ada tanggung jawab yang harus kita tunaikan, yaitu menyambung
kebaikan mereka.
Karenanya, seperti yang difirmankan
Allah dalam Al-Qur’an, “Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik kepadamu.” Setelah menerima kebaikan mereka, kitapun
harus berpikir untuk melalukan hal yang sama, agar orang-orang itu mendapatkan
pahala yang tidak terhenti pada kita saja, tetapi mereka terus mendapatkan
ganjaran kebaikan dari orang-orang selain kita. Cara ini, bukan saja bisa
membalas kebaikan dan menambah pundi amal mereka, tetapi kita juga akan
mendapatkan balasan yang sama sebagai orang kedua.
Seperti yang disabdakan Nabi,
“Barangsiapa menunjukkan sebuah kebaikan maka baginya pahala seperti pahala
orang yang melakukannya”.
Mendoakan, memuliakan, berterima
kasih dan meneruskan kebaikan mereka serta menjaga kehormatan mereka hanyalah
sebagian kecil dari sekian banyak cara yang bisa kita lakukan untuk membalas
jasa orang-orang baik itu. Dan apapun cara yang kita pilih, pada intinya kita
haruslah berusaha untuk membalas jasa-jasa itu. Lakukanlah. Karena hal itu
adalah bagian dari bukti rasa syukur kita kepada Allah dan mereka atas setiap
nikmat dan kebaikan yang kita terima. Rasulullah mengatakan, “Barangsiapa yang
tidak pandai berterima kasih kepada manusia, sesungguhnya ia tak pandai bersyukur
kepada Allah”.
Dan semoga rasa syukur yang coba
kita buktikan itu menjadi sarana perekat yang dapat menyatukan kita dengan
mereka, orang-orang baik itu, dalam sebuah ikatan ukhuwah yang kekal yang bisa
mempertemukan kitakembali di alam yang tidak ada lagi pertemanan, kecuali
pertemanan yang diikat dengan tali ketaqwaan. Akhirat. Kampung tempat segalanya
berkesudahan. Mengakhiri jalan panjang kehidupan. Rumah penghabisan, tempat
segala hiruk pikuk dunia ditimbang, lalu ditunaikan hak orang-orang yang punya
hak. Serta diambilkan bayarannya kekurangan orang-orang yang berbuat curang.
Nun disana. Kita akan bersua. Seperti air sungai yang mengalir berliku, kesana
pula bermuara pada akhirnya. Itulah hakikat.
Sumber
:
Tulisan : Sisyanto, Rudi. Hand-out Pelajaran Fisika SMA Negeri 8
Pekanbaru, Kelas I (2003), Kelas II (2004), dan Kelas III (2005 s.d. 2007)