Selasa, 27 November 2012

Pengelolaan - Pengolahan Air Limbah


 AEROBIC PONDS ( Benefield and Randall, 1980 )
Kolam aerobik adalah sebuah kolam dangkal yang dapat ditembus cahaya hingga ke bagian dasarnya, hal tersebut menyebabkan proses fotosintesis dapat terjadi pada keseluruhan sistem di dalam kolam. Sepanjang siang hari, akibat adanya proses fotosintesis dan proses aerasi di permukaan oleh angin akan dihasilkan suplai oksigen dalam jumlah yang besar. Suplai tersebut akan digunakan sebagai sebagai persediaan selama malam hari. Proses stabilisasi materi organik yang masuk ke kolam aerobik dilakukan aktifitas penguraian yang dilakukan oleh bakteri aerob.
Pada kolam aerobik terjadi suatu bentuk hubungan yang saling menguntungkan antara alga dan bakteri. Selama proses fotosintesis, alga mensintesis materi organik yang berasal dari karbon dioksida, nutrien anorganik, dan air dengan memanfaatkan energi cahaya, lalu kemudian sitoplasma mengeksresikan campuran organik untuk digunakan oleh materi heterotrof. Pada proses ini hasilnya yaitu terlepaskannya elektron, proton, dan molekul-molekul oksigen. Bakteri heterotrof kemudian menguraikan materi organik yang terbentuk yang ada dalam air limbah untuk digunakan sebagai energi. Setelah digunakan material organik tersebut akan diuraikan kembali menjadi karbondioksida, air, dan bentuk materi anorganik lainnya yang akan digunakan kembali oleh alga. Begitulah seterusnya terbentuk suatu siklus dalam antara alga dan bakteri. Secara singkat dapat dilihat pada gambar 1 berikut.

Gambar 1. Hubungan yang Terbentuk antara Alga dan Bakteri di Dalam Kolam Aerobik
A.     Variasi Perhari pada Kolam Aerobik
Proses fotosintesis membutuhkan radiasi sinar matahari. Oksigen akan dilepaskan selama selang waktu siang hari. Pada malam hari alga dan bakteri bersama-sama menggunakan oksigen terlarut dan zat-zat organik sehingga menurunkan sejumlah cadangan oksigen. Hal ini menunjukkan variasi konsentrasi oksigen dalam air, yaitu tinggi pada siang hari dan menurun pada malam hari.
Alga memanfaatkan karbon pada proses fotosistesi yang diperoleh dari hasil respirasi bakteri dalam bentuk karbon dioksida. Selama proses fotosistesis berlangsung nilai pH akan meningkat. Selama selang waktu ini sejumlah besar amoniak akan dilepas. Pada malam hari, ketika karbondioksida dihasilkan dari proses respirasi bakteri dan alga, nilai pH akan mengalami penurunan. Hal ini menunjukkan hal yang sama seperti yang terjadi pada oksigen, yaitu nilai pH perhari juga bervariasi. Variasi harian parameter-parameter tersebut penting untuk diketahui karena salah satunya dapat mengganggu aktivitas mikroba.
Proses respirasi alga merupakan kejadian yang menarik dan merupakan suatu bentuk model proses yang rumit. Selama proses fotosintesis alga bertindak sebagai “pabrik” yang memproduksi zat organik dalam jumlah yang banyak ke lingkungan. Ketika proses tersebut terhenti, alga memetabolisme kembali zat yang ia eksresikan tadi memecahnya menjadi CO2. Kemudian, setelah memperoleh cahaya kembali maka akan tersedia CO2 sebagai salah satu bahan baku pada proses fotosintesis. Abeliovich dan Weismen (1977) menyatakan bahwa sekitar 15% karbon digunakan sebagai metabolisme glukosa oleh alga dan sebagian besar lainnya digunakan oleh Scenedesmus obliquus (bakteri) yang tumbuh/berkembang di dalam kolam oksidasi. Hal ini menunjukkan terdapat peranan alga dalam penyisihan zat organik namun hanya peranan tersebut hanya sebagian kecil.
B.     Hubungan-hubungan dalam Perancangan
Dikarenakan secara umum pengolahan yang terjadi adalah secara alami maka pengolahan dengan kolam aerobik tidak memiliki prosedur perancangan khusus. Walaupun begitu untuk mewujudkan tata laksana yang teratur maka dibuatlah prosedur tertentu. Metode empiris yang pertama kali dikembangkan oleh Oswald dan Gotaas (1957) yang memiliki pendekatan yang rasional. Mereka berasumsi bahwa isi kolam harus tercampur dan tidak ada proses pengendapan serta dikaitkan pula pada efisiensi penggunaan energi matahari pada permukaan kolam. Selanjutnya metode tersebut disimpulkan oleh Rich (1963) yang kemudian dijadikan dasar prosedur perancangan kolam aerobik.
Mengembangkan metode yang dikembangkan oleh Oswald dan Gotaas (1957) dan mengkombinasikannya dengan kesimpulan yang dikemukakan Rich (1963) disimpulkan bahwa kesetimbangan penggunaan dan produksi energi yang dilakukan alga dapat digambarkan melalui persamaan berikut.
                                                                                             (6-1)

Produksi oksigen dan pertumbuhan alga dapat digambarkan melalui persamaan berikut

                                                                                              (6-2)

Luas permukaan kolam dapat dihitung dengan mensubstitusikan nilai Wa pada persamaan 6-2 ke persamaan 6-1 sehingga,
                                                                                                (6-3)


Satuan pembakaran di dalam sel alga nilainya bervariasi tergantung dari komposisi sel yang dipengaruhi oleh banyak faktor lingkungan. Oswald dan Gotaas (1957) menyatakan kandungan panas sel alga dalam bentuk nilai R :
                                                                                  (6-4)

nilai R menyatakan derajat reduksi/penurunan bentuk material sel sebagai hail dari proses sintesis dan dapat diestimasikan dari persamaan berikut.

    
Jewell dan McCarty (1968) telah melaporkan nilai rata, maksimum, dan minimum dari elemen mayor yang terdapat di dalam tubuh alga. Nilai-nilai tersebut dinyatakan dalam persen abu-berat kering, yaitu : karbon 53, 42,9, 70,2; hidrogen, 8, 6,0, 10,5; oksigen 8, 0,6, 16,0; dan fospor 2,0, 0,16, 5,0. Sebagai catatan, kondisi-kondisi pada saat masa pertumbuhan akan berpengaruh pada masing-masing nilai.
Faktor oksigenasi dipengaruhi oleh komposisi materi organik yang disintesis alga pada proses fotosintesis. Sebagai contohnya, Oswald dan Gotaas (1957) dari hasil penelitian mengasumsikan jika komposisi sel alga dalam kadar debu-berat kering terdiri dari 59,3% karbon, 5,24% hidrogen, 26,3% oksigen, dan 9,1% nitrogen. Masing-masing persen nilai dibagi dengan berat atom masing-masingnya sehingga,
Untuk mencegah fraksi dasar kecil dari 1, maka masing-masing fraksi dikalikan dengan 1,54 sehingga fraksi berat nitrogen menjadi 1.
Struktur sel menjadi C7,6H8,1O2,5N. Diasumsikan bahwa amoniak, air, dan karbon dioksida diubah menjadi oksigen, nitrogen, dan karbon pada proses fotosintesis. Secara umum, berikut merupakan reakasi yang terjadi pada proses fotosintesis (persamaan 6-6).
 

atau sebagai contoh yaitu (persamaan 6-7).
Dari persamaan diatas, oksigen yang dilepas per unit massa alga adalah (243,2/153,3) = 1,58. Oleh karena sel alga secara umum tersusun dari 85% material volatil dan 15% material tetap, maka dihperoleh TSS (terbasuk di dalamnya nilai abu) sebesar (1,58)(0,85) = 1,34. Untuk kondisi lingkungan secara umum, nilai p berada pada kisaran 1,25 – 1,75.
Faktor-faktor yang menentukan radiasi sinar matahari yang diterima permukaan kolam diantaranya adalah (1) faktor musim, (2) elevasi, (3) letak geografis, (4) kondisi meteorologi.
Sebagian kecil spektrum gelombang elektromagnetik yang dapat dilihat disebut sebagai sinar tampak dan beberapa bagian dari sinar tampak tersebut merupakan sumber energi cahaya yang digunakan pada proses fotosintesis. Nilai energi spektrum gelombang elektromagnetik di beberapa belahan bumi bagian utara dapat dilihat pada Tabel 1.
Nilai tersebut merupakan nilai ideal, oleh karena itu diperlukan faktor koreksi untuk ketinggian dan cuaca.
Koreksi untuk Cuaca :
         (6-8)

Koreksi untuk Elevasi diatas 10.000 ft
         (6-9)

Pada persamaan e menyatakan elevasi diatas permukaan laut dalam ft dan r fraksi lamanya waktu cerah, yang diperoleh dari perbandingan lamanya siang yang tidak mendung dengan total waktu siang. Untuk beberapa tempat yang khusus, kemungkinan total waktu siang pada beberapa bulan dapat diketahui dari gambar 2. Catata yang dikeluarkan oleh Badan Iklim dan Cuaca dapat pula digunakan untuk memprediksi kejadian cerah atau tidak cerah pada bulan-bulan tertentu.
Ketika intensitas penyinaran lebih kecil daripada nilai kejenuhan (400 - 600 ft-candles untuk alga), maka tingkat fotosintesis akan disesuaikan dengan intensitas penyinaran tersebut. Titik jeniuh akan tetap hingga intensitas cahaya mencapai level inhibitor (pada beberapa tempat berada pada nilai 1000 dan 4000 ft-candles). Pada titik ini tingkat aktivitas fotosintesis akan semakin menurun. Sebagai ilustrasi dapat dilihat dari gambar 3. Oswald dan Gotaas (1957) mengusulkan apabila fraksi energi sinar tampak oswald dan gotaas (1957) mengusulkan bahwa fraksi energi dalam cahaya tampak yang digunakan dalam fotosintesis alga dapat dihitung dengan persamaan berikut.

Hubungan dalam persamaan 6-10 dapat dilihat pula pada grafik pada gambar 4. Hal ini perlu lebih dipahami karena penerapan persamaan 6-10 terbatas karena faktor berbagai faktor lingkungan lainnya. Rich (1963) melaporkan jika efisiensi konversi energi aktual, E, untuk kolam aerobik berada pada range 0,02 – 0,09 dengan rata-rata 0,04.
Tabel 1 Radiasi Sinar Matahari terhadap Permukaan Horizontal pada Permukaan Laut dalam Langleys/hari

Tabel 1 (Sambungan)


Gambar 2. Persen Rata-rata Waktu Total Penyinaran Matahari pada Garis Lintang
(Oswald dan Gotaas, 1957)
Untuk mengefektifkan proses pengolahan dengan kolam aerobik, harus terdapat sejumlah oksigen yang setara dengan kebutuhan oksigen untuk metabolisme. Oleh karena itu Wo2 dapat disetarakan dengan nilai BOD yang terurai per unit waktu.
Dengan formula empiris yang diusulkan oleh Oswald (1963), Roesler dan Preul (1970) yang telah dikembangkan berdasarkan penyisihan BOD di dalam kolam aerobik :


Gambar 3. Hubungan Fotosintesis Relatif dari Permukaan Hingga ke Dasar (Bartsch, 1961)
Untuk pengaplikasian persamaan 6-11 dalam perancangan penting untuk menentukan nilai Io. Oswald dan Gotaas ( (1957) menyarankan prosedur berikut untuk menghitung nilai Io tersebut.
1)      pilih nilai (SR)max dan (SR)min yang tepat sesuai dengan total radiasi matahari pada tabel 1.
2)      Koreksi nilai total radiasi pada melihat faktor cuaca dan elevasinya dengan menggunakan persamaan 6-8 dan 6-9.
3)      Kalikan nilai yang telah dikoreksi tadi dengan 10.
4)      Kalikan nilai yang diperoleh pada langkah 3 dengan fraksi waktu penyinaran dari gambar 2. Nilai yang diperoleh merupakan nilai Io dalam ft-candles.



Gambar 4. Pengaruh Intensitas Kejenuhan pada Tingkat Penggunaan Cahaya oleh Alga (Oswald dan Gotaas, 1957)
C.      Pertimbangan-pertimbangan dalam Perancangan
Kriteria perancangan tipikal dari kolam aerobik dapat dilihat pada tabel 2. Kedalaman yang disarankan untuk kolam aerobik adalah 0,5-1,5 ft (kedalaman dangkal), tujuannya adalah agar keseluruhan kolam dapat ditembus oleh cahaya sehingga produksi alga dapat terjadi secara maksimal. Namun disisi lain kolam yang dangkal memiliki beberapa permasalahan. Nusbaum (1957) melaporkan bahwa terdapat beberapa masalah dalam operasional kolam aerobik dangkal, diantaranya adalah.
Tabel 2 Kriteria Perancangan untuk Kolam Aerobik

1)      Vegetasi pengganggu : pada kedalaman kurang dari 3 ft vegetasi air dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu pada kedalaman tersebut genangan air juga dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.
2)      Permasalahan temperatur : pada beberapa area di beberapa negara, temperatur kolam akan meningkat terutama pada musim panas. Tidak sesuainya suhu kolam akan menjadi faktor yang menghambat pertumbuhan alga di dalam kolam.
3)      Retensi oksigen : pada saat produksi oksigen meningkat akan tercipta kondisi super saturasi (lewat jenuh). Pada kondisi ini kolam yang memeiliki kedalaman yang relatif dalam lebih disarankan.
4)      Pembebanan tiba-tiba : kolam yang memiliki kedalaman relatif lebih dalam akan memiliki volume yang lebih besar dan area dispersi yang lebih luas dibandingkan kolam dangkal.
Untuk memperoleh perfoma yang terbaik, muatan kolam harus diaduk atau dicampurkan setiap periode tertentu. Hal ini untuk mencegah stratifikasi suhu di dalam kolam. Apabila tidak dilakukan adanya proses pengadukan pada kolam temperatur permukaan akan lebih tinggi dibandingkan temperatur dasar kolam. Kemudian massa jenis juga akan terpengaruh. Masa jenis akan menurun seiring meningkatnya suhu air. Hal ini akan menyebabkan alga yang bersifat nonmotile (yang tidak dapat berpindah) akan mengendap pada kedalaman tertentu di bawah permukaan kolam. Selanjutnya alga yang bersifat motile (dapat berpindah) akan bergerak menjauhi suhu yang tinggi (permukaan kolam) dan membentuk suatu lapisan pada kedalaman tertentu yang lebih dalam. Lapisan alga yang semakin rapat ini akan menghalangi cahaya yang akan masuk ke dalam kolam sehingga mengurangi fotik zone (zona cahaya). Akibatnya, oksigen dan penguraian zat organik akan menurun. Angin menjadi faktor yang paling penting yang memungkinkan terjadinya proses pengadukan pada kolam. Oleh karena itu, Eckenfelder (1970) menyarankan lebar kolam sebaiknya berada pada kisaran nilai 650 ft apabila kedalaman kolam sebesar 3 ft.
Apabila pada pengolahan tidak terdapat pengolahan primer atau pengolahan pendahuluan, maka menyebabkan sejumlah padatan akan mengendap pada dasar kolam membentuk lapisan lumpur. Pada kolam yang memiliki kedalaman yang lebih dalam umumnya akan menyebabkan terjadinya fermentasi metan yang akan mencegah terjadinya kelebihan lumpur. Namun, penumpukan lumpur merupakan masalah di kolam aerobik karena organisme metanogen yang bersifat anaerob biasanya tidak mampu berkembang sampai batas yang signifikan. Sebenarnya apabila dilakukan pengolahan primer tetap akan menyebabkan terjadinya penumpukan lumpur, namun relatif lebih lambat dibandingkan apabila tanpa pengolahan primer.
Oswald dan Gotaas (1957) mengisyaratkan bahwa proses resirkulasi di dalam kolam aerobik perlu untuk dilakukan, hal ini agar proses seeding alga/perkembanggan alga dapat berlangsung cepat di dalam effluen baru yang akan diolah. Hal ini juga dapat meningkatkan konsentrasi DO pada air limbah yang akan diolah. Nusbaum (1957) menyarankan rasio resirkulasi minimum ketika efluen primer akan diolah yaitu sebesar 0,5.
Metcalf dan Eddy (1972) menyarankan agar kolam aerobik untuk kebutuhan individual luas permukaan diperkecil kecil dari 10 ha dengan tujuan untuk memperkecil putaran arus pendek yang terjadi akibat angin. Untuk perancangan apabila dibutuhkan luas permukaan yang lebih besar daripada 10 ha dilakukan dengan pembuatan kolam dengan sistem paralel dimana luas masing-masing kolam kecil dari 10 ha.
Secara tipikal, kolam aerobik memiliki rasio panjang dan lebar 2-3 : 1 (Mara, 1976). Tanggul-tangkul pada kolam akan dibuat dengan kemiringan maksimum dan minimum masing-masing 3 : 1 dan 6 : 1, perhatikan gambar 5 berikut (dimana n = 3 untuk kemiringan maksimum dan n = 6 untuk kemiringan minimum). Ini merupakan prosedur umum yang digunakan untuk perancangan area kolam dengan kedalaman sedang.
Gambar 5. Potongan Melintang Kolam Aerobik (Mara, 1976)
Kondisi iklim merupakan pertimbangan utama yang mesti diperhatikan dalam perancangan kolam. Pada area yang memiliki kondisi beku pada periode musim dingin volume diisyaratkan cukup untuk menyimpan laju aliran total selama periode ini. Di beberapa area, kolam dapat berfungsi hanya pada musim panas dan umumnya materi biologi akan memasuki masa dormansi pada musim dingin. Menurut Oswald (1972), kolam hanya dapat digunakan terbatas pada area yang memperoleh radiasi matahari sebesar 100 cal/cm2/day 90% sepanjang tahun dan tidak terdapat masa beku dalam waktu yang cukup lama. Sebagai contohnya yaitu 40% daerah di Amerika Utara. Gambar 6 dapat digunakan untuk menentukan beberapa tempat di Amerika Serikat yang memiliki kondisi yang sesuai untuk menera;pkan kolam aerobik.

Gambar 6. Kondisi Iklim di Beberapa Daerah di Amerika Serikat (Dildane dan Franzmathes, 1970)
Kolam aerobik dirancang untuk memaksimalkan produksi alga, hal ini menyebabkan konsentrasi alga pada efluen setiap kolam akan tinggi. Sebagai aplikasi dari pengolahan sekunder, nilai tersebut harus dibatasi, yaitu 30 mg/L untuk tangki pengendapan sekunder atau memiliki nilai BOD­5 dan Suspended Solids rata-rata yang rendah setiap pengukuran perbulan (85% removal) dan 45 mg/L atau memiliki BOD5 dan suspended solid yang rendah pada setiap pengukuran per 7 hari. Setiap kolam biasanya tidak mampu memenuhi kritesia suspended solid karena kandungan alga tersebut. Konsekuensinya, pengolahan dengan kolam ini sebaiknya dilengkapi pula dengan pengolahan tambahan untuk menyisihkan kandungan alga yang membutuhkan biaya tambahan dan skill khusus dalam operasionalnya.
Contoh 1
Setelah pengolahan laju aliran limbah cair memiliki nilai 1 MGD. Air tersebut merupakan air limbah yang berasal dari sebuah kawasan permukiman kecil di dekat New Orleans, Louisiana (ketinggian 50 ft). Dari pengolahan primer tadi diharapkan limbah memiliki nilai  BOD 200 mg/L. Berapa dimensi kolam yang harus dirancang untuk menyisihkan 90% BOD jika kriteria perancangan adalah pada Desember (waktu tertutup awan 50%, suhu rata-rata 45o F)?
Solusi :

Kedalaman kolam memiliki hubungan yang terbalik dengan kemampuan pengolahannya. Untuk mengolah air limbah yang pekat dibutuhkan pertumbuhan alga yang baik sehingga sebaiknya diolah pada kolam yang relatif dangkal, namun sebaliknya air limbah yang tidak terlalu pekat sebaiknya diolah pada kolam yang memiliki kedalaman relatif lebih besar.
Gambar 7. Hubungan Kedalaman Aerobic Zone dengan BODu loading  (Oswald, 1968)
Hubungan antara kolam aerobik dan BODu loading (lb/ha.day) pada musim gugur digambarkan pada gambar 7. Kurva tersebut digunakan untuk mencek hasil perhitungan kedalaman untuk memastikan kolam dapat bekerja. Kurva ini memperlihatkan pada saat musim dingin kedalaman relatif lebih dangkat dibandingkan pada musim gugur, sedang pada musim panas kedalaman menjadi lebih besar.[MN]

SUMBER : Benefield, Larry D. , and Randall Clifford D . 1980 . Biological Process Design for Wastewater Treatment .  United States of America : Prentice-Hall, Inc .

1 komentar:

Menjual berbagai macam jenis chemical untuk wtp, wwtp, STP Ipal bakteri nutrien dll untuk info lebih lanjut tentang produk ini bisa menghubungi kami di email tommy.transcal@gmail.com
Mobile:081310849918

Posting Komentar

Share

Twitter Facebook More
Blogger Bertuah